Selasa, 18 September 2018

Catatan Sepenggal Perjalanan Komunitas 22 Ibu di Fukuoka

Empat Perempuan Pendidik Seni dari lintas institusi pada bulan September menembus kegelapan malam menuju bandara Suta. Berbekal undangan dari penyelenggara kegiatan Art Festival di Fukuoka, mereka mempersiapkan amunisi budaya yang akan ditampilkan dihadapan publik Fukuoka. Pesawat yang mereka tumpangi transit di Hingkong dan berlanjut menuju Fukuoka.

Udara sore yang cerah dan hangat menyambut kedatangan delegasi Indonesia. Setelah sementara menunggu penjemputan dari pihak pengundang. Akhirnya muncul Elida Maria Matsumoto bersama seniman dari Spanyol yg telah tiba terlebih dahulu, Eva Ibares seorang seniman lukis kontemporer yang mengembangkan gaya lukis Jepang.

Kami mendapat tempat tinggal di hostel Yagura. Disana kami diterima oleh yasuni, staf hotel yang sangat ramah menyambut kami dan menyiapkan semua kebutuhan kami.





Semua perlengkapan hostel serba digital bahkan tempat sampahpun menggunakan sensor. Serba canggih, putih bersih apik. Resik banget. Dan ukurannya minimalis. 

Setelah beristirahat sejenak dan membersihkan diri, kami dijemput oleh Eva menuju Galeri Tiempo Iberoamericano. Untuk welcome dinner dan juga diskusi untuk acara esok yang akan dibuka oleh kegiatan workshop batik gutta tamarind.




Keesokan harinya kami mempersiapkan seluruh perlengkapan workshop. Baju yang kami kenakan sengaja baju daerah. Ternyata hal ini berbeda dengan pengunjung yang sedikit. Jumlah yang hasir sedikit disebabkan warga Jepang enggan keluar rumah karena khawatir typhun melanda lagi. Kami juga bertubi tubi mendapatkan WA dari banyak grup yang mendoakan keselamatan kami. Walaupun kami sudah meyajinkan bahwa kami baik baik saja. Masih ada juga anggota kluarga yang khawatir.






Usai workshop kami membantu seniman dari negara lain dalam menyiapkan karyanya. Sore hari kami bisa istirahat sambil menikmati secangkir teh hangat.

Hari kedua kami mengikuti workshop gaya melukis Jepang. Dengan menggunakan cat air yang materialnya berasal dari batu. Kami melukis diatas kipas dengan gaya Jepang.Hasil karya kami para peserta tampaknya banyak mrbinggalkan jejak jejak lokal pada karya luk8s gaya Jepang ini sehingga memunculkan karakteristik kelokalan diluar Jepang.

Setelah selesai kami kembali menggelar workshop kami keesokan harinya yang diikuti oleh banyak peserta dari orang tua hibgga anak anak muda dan anak sekolah. Anak yang awalnya mengikuti orang tuanya akhirnya justru tidak mau pulang karena sangat sangat menyukai membatik.





Usai memberikan workshop pada sore harinya kami datang ke pembukaan Arts Fukuoka 2019. Pameran ini mengusung hiruk pikuk seniman muda Jepang yang berkiprah dalam masa milenial. Satu keunikan dalam pameran ini adalah ruang pamer menggunakan satu lantai dari seluruh ruang kamar dan toilet pada hotel tersebut. Karya di display dengan memanfaatkan lahan yang ada seperti diatas tempat tidur, di atas sofa, meja rias, nakas, juga closet yang ada di ruang toilet termasuk dindingnya.










Pada hari ketiga kami mengikuti workshop Bokusho yang disuguhkan oleh seniman era kontemporer dari spanyol, Eva Ibanez Cano. Gagasan nya berkarya diambil dari timur yaitu kaligrafi. Kerapnya melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia membuatnya jatuh cinta pada timur dan dikembangkan kedalam proses berkaryanya. Kami workshop berkolabirasi menggunakan berbagai brush buatannya. Ada yang terbuat dari sapu ijuk, bulu ayam,ataupun ekor kuda selain maopit yang juga digunakannya. Hasil eksperimen kami seluruh peserta menghasilkan karya yang unik.

Pada hari keempat Minggu 9 September 2018 kami menggelar workshop untuk ketiga kalinya sebagai workshop tambahan atas permintaan dari penyelenggara. Padahal sedianya kami merencanakan untuk sight seeing Fukuoka. Ternyata tetap belum  dapat jalan jalan keliling Fukuoka. Padahal banyak lokasi yang direkomendasikan oleh kolega kami.

Workshop kali ini juga diikuti banyak peserta. Setelah workshop kami juga harus presentasi karya kami yang dipamerkan. Masing masing seniman manca negara hanya di beri waktu sebanyak 15 menit saja. Presentasi awal dibuka oleh Ariesa Pandanwangi dari Universitas Kristen Maranatha Indonesia yang menjelaskan bahwa karya lukis batiknya dinulai dari penelitiannya di Nias yang hasilnya menjadi gagasan dalam proses berkarya. Selanjutnya Gilang Cempaka dari Universitas Paramadina yang menjelaskan bahwa karyanya selain batik juga ada yang dibuat diatas kanvas dengan menggunakan akrylic. Nurul Prinayanti dari Podomoro University mengangkat tema musik dalam hidupnya. Dan Rina Mariana dari STTB yang juga guru SMPN 1 Ngamprah mempresentasikan beberapa karya batiknya.









Selanjutnya seniman kontemporer Prof Angela dari Portugal mempresentasikan video art. Karyanya digagas dari aktivitas diatas meja makan. Dengan menggunakan infocus yang disorot dari atas ke arah meja maka terlihat berbagai aktifitas yang direkamnya. Makan. Mekukis. Membuat sketsa bahkan juga menyiapkan berbagai kegiatan sebelum ia mengajar. Prof Angela juga mempresentasikan art project lainnya.

Eva Ibanez Cano seniman kontemporer dari Spanyol meyuguhkan kolaborasi antara musik dari dentingan gitar yang dibawakan oleh dua orang gitaris dan gaya melukis Eva. Eva melukis diatas selembar kertas besar yang digelarnya diatas lantai dengan sekali hentakan kuas.

Presentasi terakhir disajikan oleh Prof. Daphna dari Israel yang mempresentasikan bahwa melukis dapat menjadi art theraphy bagi para penderita cancer.

Acara ditutup dengan diskusi dan dilanjutkan dengan pemilihan karya terbaik dari 3 rangkaian workshop batik. Terpilih 2 karya terbaik. Mereka mendapatkan gift sarung tenun Indonesia. Luar biasa surprise dan mereka sangat menyukai hadiah tersebut. Ketika dipraktikan dipakai sarung tersebut, bagi mereka sesuatu yang baru cara berpakaian menggunakan sarung.



Di akhir acara sebelum dinner, delegasi Indonesia memberikan kenangan berupa kain batik motif awan dan sarung tenun serta portofolio lecturer. Acara diakhiri dengan dinner.

Hari keenam kami free dan kami dapat melihat Fukuoka tower dan kuil paling tua di Fukuoka.

Foto sejenak di sebrang Fukuoka Tower



Penyanyi yang demikian menghayati lagunya.

Farewell Party sambil menikmati suguhan dari penyanyi lokal setempat yang secara khusus mensatangi meja kami karena direkomendaaikan oleh owner restoran.

Hari ketujuh kami pergunakan waktunya untuk khusus belanja oleh oleh dan jalan kaki disekitar kami. Beberapa tempat belanja kami secara khusus diantar oleh Elida. Sepanjang jalan kami berdiskusi sekaligus menyiapkan program untuk komunitas 22 Ibu. Malam harinya kami diundang ke rumah Elida untuk makan malam, dan secara special ia khusus memasakan untuk kami. Masak spagheti dengan campuran daging serta taburan keju permesan. Mie spagheti langsung dibuat manual, dibuat adonan terlebih dahulu, digiling lalu dipotong mie. Luar biasa dan niat banget. Rasanya lezat. Semua yang hadir tambah porsinya.

Pulangnya k hostel kami harus sudah mempersiapkan packing dan jam sebelas keesokan harinya kami dijemput Elida diantar k bandara international. Pesawat Cathay Pacific terbang membawa kami kembali ke tanah air. Terimakasih Elida, Eva, Angela, Daphna dan tim Indonesia, semua nya di Fukuoka adalah yang tak terlupakan. Satu pount penting kita selalu mengatakan bahwa kita adalah keluarga besar.

Berita kegiatan kami dapat di akses
https://m.republika.co.id/berita/gaya-hidup/trend/18/09/03/peh8ia328-komunitas-22-ibu-adakan-pelatihan-batik-klungsu-di-fukuoka

Kisah Gutta Tamarind Berkunjung Ke Fukuoka dapat di akses
http://majalahcsr.id/kisah-gutha-tamarind-di-berkunjung-ke-jepang/

Perjalanan Komunitas 22 Ibu Ke Jepang
Dapat diakses
http://majalahcsr.id/perjalanan-komunitas-22-ibu-di-jepang/

Terimakasih banyak kepada media online Republika dan Majalah CSR yang telah meliput perjalanan komunitas 22 ibu. Salam Budaya.

Minggu, 09 September 2018

Artist Talk di Tiempo Iberoamericano

Sore yang cerah menjadi kesempatan bagi warga Fukuoka pemerhati seni. Minggu 9 September 2018 empat orang seniman dari Indonesia mempresentasikan karyanya. Mereka adalah Ariesa Pandanwangi, Gilang Cempaka, Nurul Primayanti, dan Rina Mariana. Ariesa mempresentasikan karyanya yang merupakan hasil penelitiannya dari Nias. Bumi Nias yang kerap terkena gempa ternyata tidak meluluh lantakan Oma Hada. Hal ini semua dituangkan dalam bentuk visual dengan mengggunakan material gutta tamarind. Gilang cempaka mempresentasikan tentang keindahan indonesia dengan tajuk mooi indie dengan menggunakan material gutta tamarind. Karya lainnya yang dipresentasikan adalah karya diatas kanvas. Nurul Primayanti mempresebtasikan karyanya tentang bagaimana music mempengaruhi kehidupannya. Rina Mariana mempresentasikan karya karyanya yang menggunakan material Gutta Tamarind. Salah satu karyanya yang disajikan dalam presentasi mampu memukau peserta diskusi dalam artist talk.




Selanjutnya tampil seniman Profesor Angela dari Portugal yang mengusung konsep multi media. Tema karyanya mengusung seluruh aktivitas yang dilakukannya diatas meja. Tampilan karyanya menyuguhkan infocus yang diarahkan ke atas meja. Taplak meja dibentangkan didinding dianggap sebagai saksi aktivitas di atas meja. Sedangkan tampilan visual diatas meja menyuguhkan rangkaian seluruh aktivitasnya diatas meja seperti makan, melukis, mengetik serta mengerjakan pekerjaan lainnya sebagai dosen.



Eva Ibanez Cano dari Spanyol mempresentasikan karyanya diatas kertas dengan iringan musik dari spanyol. Karyanya membutuhkan kontemplasi yang dalam. Musik membuatnya hanyut dalam sekali brushstroke.

Bailey seniman dari Hawai mempresentasikan karyanya tentang manga dalam kehidupan sehari hari.

Diskusi berlangsung meriah dan membuat interaktif dengan pengunjung.

Sabtu, 08 September 2018

SERIUSNYA WARGA JEPANG BELAJAR TEKNIK BATIK

Cuaca tampaknya kurang mendukung akibat hujan deras dan cuaca mendung, membuat peserta workshop tidak banyak. Tetapi antusias mereka luar biasa.

Acara dibuka oleh Elida Maria Matsumoto dan dilanjutkan oleh presentasi tim pendidik. Contoh karya juga diperlihatkan oleh tim.

Selanjutnya.acara workshop didampingi oleh delegasi dari Indonesia. Antusianya mereka hingga kami tidak diperkenankan untuk memberikan contoh di atas kain mereka. Sehingga workshop yg tadinya selesai pukul 15.00 menjadi pukul 16.00.

Beruntung Tiempo Gallery terletak di tengah kota sehingga usai dari memberikan workshop kami masih dapat mengikuti acara Asia Art Fair-Fukuoka 2018.

Lokasinya tidak jauh dari tempat kami dan ditempuh dengan jalan kaki.

Sangat menarik mengamati perkembangan seniman muda milenial Japan. Karyanya unik, imut, dan di display dengan memanfaatkan kamar kamar hotel dan toilet. Branding artworks mereka dikemas sangat baik.

Usai dari lokasi ini tim kami lintas negara berkunjung ke Art Museum Fukuoka.


Rabu, 05 September 2018

Komunitas 22 Ibu Transit di HK menuju Fukuoka


Buah dari mengikuti open call yang diadakan oleh negara Jepang pada tahun 2017, sebanyak 9 orang dari Komunitas 22 Ibu lolos seleksi u pameran dalam rangka Arts Festival Fukuoka yang diikuti oleh banyak negara. Buah dari kegiatan tersebut Komunitas 22 Ibu (memutuskan untuk berangkat sebanyak 4 orang) mendapatkan undangan untuk memberikan workshop batik Gutta tamarind. Dengan suport dari BNI serta publikasi oleh pojok jabar. Maka pada hari ini Komunitas 22 Ibu sudah transit di HK.

Sebanyak 4 orang pendidik yaitu Ariesa Pandanwangi dari UK Maranatha, Gilang Cempaka selaku Dekan sekaligus dosen dari Universitas Paramadina Jakarta, Nurul Primayanti dari  Podomoro University Jakarta dan Rina Mariana dari SMPN 1 Ngamprah. Mereka berangkat berdasarkan undangan dari Elida Maria Matsumoto selaku founder sekaligus pengelola event Art Festival Fukuoka di Jepang.

Adapun materi yang akan dibawakan oleh delegasi tersebut adalah kearifan lokal dan dampaknya bagi kebudayaan dan ekonomi kreatif. Selamat dan semoga lancar. (AP-K22I)

Link dari publikasi tersebut dapat diakses Komunitas 22 Ibu Adakan Pelatihan Batik Klungsu di Fukuoka

Art illuminations in 18th – 19th centuries manuscripts from Ngayogyakarta Hadiningrat Palace as a creative industry development

Art illuminations in 18th – 19th centuries manuscripts from Ngayogyakarta Hadiningrat Palace as a creative industry development Abstract M...