Sabtu, 23 Desember 2017

PAMERAN LUKISAN BATIK LILIN DINGIN

PAMERAN LUKISAN BATIK LILIN DINGIN 
"IBU BUMI DAN PAHLAWAN PEREMPUAN INDONESIA
The Energy Building, 18-22 Desember 2017



Karya seni lukis yang digelar di Galeri Mezanin, Gedung Energi-Jakarta ini adalah karya karya seni lukis batik yang dibuat di atas sutera, merupakan hasil karya perempuan pendidik seni yang tergabung dalam komunitas 22 Ibu. Pameran ini berlangsung dari tgl 18-22 Desember 2017.

Ada 36 figur pahlawan dan tokoh perempuan yang dipilih oleh tim khusus. Hasil karya para perupa ini sebelumnya telah dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta dengan mengusung tajuk Visualisasi Expresi Pahlawan dan Tokoh Perempuan pada bulan Agustus 2017.

Dalam kesempatan ini juga digelar malam kebudayaan Indonesia sebagai acara puncak dari kegiatan pameran ini. Malam kebudayaan tersebut mengusung para penari perempuan yang terkenal di jamannya seperti penari Bulan Trisna, Retno Maruti, Irawati Durban, etc. selain itu juga diluncurkan penerbitan kalender serial Pahlawan Perempuan Nasional. Sosok dan jejak mereka diabadikan dalam kalender dengan visualisasi yang dibuat oleh para perempuan dari Komunitas 22 Ibu. 

Karya-karya tersebut juga di Koleksi oleh Kemetrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia di Jakarta. Adapun karyanya yang diabadikan dalam bentukan kalender adalah Nyi Ageng Serang (1752-1838) oleh Dyah Limaningsih Wariyanti, marta christina Tiahahu (1800-1818 oleh Rina Mariana, Cut Nyak Dhien (1848-1908) oleh Shitra Noor Handewi, Cut Meutia (1870-1910) oleh Ariesa Pandanwangi, Maria Walanda maramis (1872-1924) oleh Arti Sugiarti, Nyai Walidah Achmad Dahlan (1872-1946 (1872-1946) oleh Tessa Eka Darmayanti, R.A. Kartini (1879-1904) oleh Endang Caturwati, Opu Daeng Risaju (1880-1964) oleh Sri Rahayu Saptawati, Dewi sartika (1884-1947) oleh meyhawati Yuyu Julaeha Rasep, Rohana Kudus (1884-1972) oleh Wien Sumarsono, Rasuna Said (1910-1965) oleh Endah purnamasari, Fatmawati Soekarno (1923-1980) oleh Nuning Y Damayanti, R.A Fatimah Siti hartinah (1923-1996) oleh Eneng nani Suryati, Dewi sartika (1884-1947) oleh nurul primayanti, kristiani Herawati Yudhoyono (1952-sekarang) oleh Sri Sulastri, Megawati Soekarno Putri (1947-sekarang) oleh Arleti Mochtar Apin, Sinta Nuriyah Wahid (1948-sekarang) oleh Niken Aprinani, Yohana yembise (1958-sekarang) oleh Gilang cempaka, Ainun Habibie (1937-2010) oleh Yustine, Iriana JokoWidodo (1963-sekarang) oleh Nia Kurniasih, Fransisca Fannidaej (1925-2013) oleh ENitria, herawati Diah (1917-2016) oleh belinda Sukapura Dewi, herlina Kasim (1953-2017) oleh Risca Nogalesa, I Gusti Ayu Rapeg (1917-2004) oleh Arleti Mochtar Apin, Ina bala wattimena (1902-1982) oleh Nuning Y Damayanti, Maria Ulfah santoso (1911-1988 oleh Nita Dewi, Marie E. Thomas (1896-1966) oleh hananta Yohaneth Nita, Nyi hajar Dewantara (1890-1971) oleh Ika Kurnia Mulyati, Raden Ayu Lasminingrat (1843-1948) oleh Nida Nabila, Ratu Zaleha (1880-1953) oleh Siti Sartika, Rohana Kudus (1884-1972) oleh Ayoeningsih Dyah Woelandhary, Sandiah (Ibu Kasur) (1926-2001) oleh Sri Nuraeni, Siti maryam salahuddin (1927-2017) oleh Ety Sukaetini, S.K Trimurti (1912-2008) oleh Nina Irnawati, Andi Depu Maraddia balanipa (1907-1985) oleh Dini Birdieni, Ani Idrus (1918-1999) oleh Eni Suryani, 

Semoga jejak para pahlawan nasional dan tokoh perempuan tersebut menjadi inspirasi dan panutan perempuan Indonesia untuk berkiprah yang jauh lebih baik lagi untuk negeri ini. Indonesia. Selamat hari Ibu.



Senin, 11 Desember 2017

WORKSHOP AND ART EXHIBITION in JAKARTA

18 Desember 2017. Workshop batik Lilin Dingin ini digagas awal oleh Ibu Niken dan kemudian dibawa ke India dengan inisiator ibu Nuning hingga terus viral hingga hari ini. Permintaan dari masyarakat dalam dan luar negeri terus berdatangan hingga 12 September 2018, sudah diminta oleh Jepang untuk mengadakan 2 kali workshop bersamaan dengan event Fukuoka Festival. Material malam dingin ini berasal dari biji asam jawa yang dikeringkan kemudian ditumbuk hingga halus berbentuk tepung. Tepung tersebut kemudian diolah dengan sejenis mentega dan dituang air panas, aduk hingga kalis. Hasilnya menjadi sejenis malam yang fungsinya sebagai perintang warna.

 18-21 Desember 2017. Menampilkan Ekspresi 12 Pahlawan Nasional Indonesia di atas kain sutera. Kegiatan ini digagas oleh MEDCO group, yang realisasinya merupakan kerjasama antara MEDCO dengan Kemendikbud. acara pembukaan juga diluncurkan kalender tahun 2018 yang berisi visualisasi 12 orang Perempuan Pahlawan Nasional Indonesia.


OPENING EXHIBITION THE POWER OF SILENCE

Minggu 10 Des 2017 bertempat di Equilibrium Art Gallery dibuka pameran yang bertajuk The Power of Silence. Pameran ini mengusung karya perempuan pendidik seni dari lintas generasi yang berasal dari wilayah yang berbeda. Keberadaan ini menghasilkan karya yang estetik yang beragam. Pameran dibuka langsung oleh owner Gallery, sekaligus menampilkan pula contemporer dance ditampilkan oleh dua gadis muda yang lincah juga ada pertunjukan music yang dipadukan dengan gerak dan lagu digagas oleh Risca Nogalesa.


Ibu Heidi selaku owner Gallery memberikan kata sambutan

Dalam kesempatan tersebut Mia Syarief selaku ketua penyelenggara pameran menyampaikan bahwa 46 perupa yang menampilkan karya sebayak 76 karya ini merupakan sebuah komunitas perempuan yang sudah berdiri sejak 5 tahun yang lalu. Keberadaan mereka ditengah medan sosial seni rupa ini memberikan warna tersendiri. Diantara kesibukan sebagai pendidik dan juga mengurus keluarga ternyata tidak menghalangi mereka untuk terus berkarya secara intens. .....kami saling suport satu dengan lainnya karena beragam kesibukan dan prioritas.......


Mia Syarief selaku ketua pameran memberikan kata sambutan sekaligus laporan kegiatan kepada publik yang hadir.

Diyanto selaku kurator komunitas 22 Ibu

Harapannya kedepannya menurut Mia Syarief, komunitas ini dapat memberikan kontribusi yang lebih baik lagi kepada masyarakat khususnya pecinta seni, seperti yang saat ini sedang dilakukan oleh komunitas yaitu pengabdian kepada masyarakat yang diikuti oleh 117 peserta dari berbagai lapisan masyarakat.


Pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk workshop batik untuk masyarakat luas.



Terimakasih tak terhingga atas kerjasamanya dengan Equilibrium Art Gallery. Pameran berlangsung dari Senin 11 Desember- 15 Desember 2017. Selamat Mengapresiasi

Jumat, 08 Desember 2017

BELAJAR NGEBLOG BERSAMA KOMUNITAS

Jumat, 8 Desember 2017. komunitas 22 Ibu belajar ngeblog bersama Bang Aswi. materi yang diberikan pada tahap awal adalah pengenalan tentang apa itu penting nya nge blog. selanjutnya secara bertahap diberikan pemaparan langkah-langkah membuat blog. materi terakhir adalah cara menaikan jumlah pengunjung, yang sekaligus praktik membuat blog.




Rabu, 06 Desember 2017

THE POWER of SILENCE



THE POWER of SILENCE:
Pencarian identitas ekspresi dalam kekuatan hening

by
Diyanto

Setiap hari, semenjak mata terbuka, berbagai fenomena sosial-politik selalu menyergap dan memberi kejutan-kejutan terbaru lewat isu tumpang-tindih di media sosial dan sosial media. Nyaris seluruh energi kita terkuras untuk terpancing saling berbalas opini di ruang publik. Luapan informasi tak terbendung dan membanjiri jagat publik, menyebabkan kegaduhan luar biasa hingga tak gampang lagi dicerna oleh nalar. Membiarkan diri untuk terus terlarut dalam kegaduhan semacam itu sebenarnya merupakan alarm kuat yang menyatakan bahwa kita tengah terjebak dalam pusaran kebuntuan logika akut. Belum selesai mengupas suatu isu, muncul lagi isu terbaru yang lebih menarik dan sensual. Dalam dunia yang kian berisik ini, diam adalah pilihan berharga. Tapi kenapa? Nilai apa sesungguhnya yang diperoleh dari keheningan untuk orang-orang yang berada di tengah-tengah dunia yang bergerak cepat ini?
 
Konon, keheningan diyakini mampu membantu seseorang untuk mengingat, untuk kembali ke dalam dirinya sendiri, memasuki kedalaman hati spiritualnya, menghubungkan, memelihara, serta memperkaya aspek transendental kehidupan. Sebab itu, keheningan selain menyediakan ruang bagi jiwa untuk membedakan dan mendengar suara kebenaran dari masa lalu, dapat pula digunakan sebagai senjata dalam mengusir kegalauan situasi karena energinya yang kuat, 

Kegaduhan yang ditimbulkan oleh denyut perubahan situasi yang berlangsung cepat, secara umum dihadapi pula oleh setiap orang di berbagai belahan dunia manapun, dan tidak mustahil dihayati pula oleh sebagian besar para perupa  perempuan yang tergabung di  dalam Komunitas 22 Ibu. Para perempuan perupa ini dalam menjalani serta mengalami seluruh konsekuensi logis atas  pilihannya selaku seniman tentu tak terhindar dari kegaduhan eksistensialnya di tengah dominasi persepsi profesi yang berkembang dalam masyarakat. Tidak mudah, memang untuk senantiasa konsisten terhadap pilihan yang ditempuh, mengingat persepsi yang berkembang di masyarakat kita sejauh ini masih terus dibayangi pemikiran lama yang memandang sebelah mata segala pencapaian berharga para perempuan. Dalam ingatan kita, tentu masih terdengar jelas tentang seloroh konyol yang mendiskreditkan posisi para permpuan dalam konteks seni :  Benarkah eksistensi  perempuan sebagai subjek seni kalah besar dibandingkan perempuan sebagai objek seni?. 

Perempuan: Kodrat dan Konstruksi Sosial-Budaya
Perbedaan antara perempuan dan laki-laki sesungguhnya tidak hanya terbatas pada kriteria biologis, melainkan juga berkaitan dengan kriteria sosial dan budaya yang ditandai berdasarkan dua konsep, yakni jenis kelamin dan gender. Perbedaaan jenis kelamin mengacu terutama pada soal perbedaan fisik, khususnya fungsi reproduksi, sedangkan gender merupakan interpretasi sosial dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin. Dalam konteks semacam itulah, gender memisahkan atribut dan pekerjaan dalam dua kategori : maskulin dan feminine. Kategori yang  pertama (maskulin), biasa ditempati oleh laki-laki sementara kategori feminin diperuntukan bagi perempuan.

Namun, pengertian jenis kelamin (seks) yang menjadi kodrat manusia kerap disalahpahami dan disamakan begitu saja dengan konsep gender, sehingga terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut dengan gender dan seks. Gender yang sejatinya merupakan konstruksi sosial maupun budaya dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau keniscayaan yang diciptakan Tuhan. Sebab itu, tidak mengherankan jika dalam ritme kehidupan sehari-hari di masyarakat, peran perempuan yang dikonstruksi berdasarkan gender itu identik dengan pekerjaan domestik (membersihkan rumah, memasak, mencuci,  mendidik anak, dan melayani suami) dianggap “sudah menjadi kodrat perempuan”. Seandainya perempuan tidak melakukan pekerjaan domestik tersebut, tak pelak dituduh  “menyalahi kodrat perempuan” dan “tercela” di mata sebagian masyarakat.

Kerancuan dan pemutarbalikan makna antara konsep jenis kelamin (seks) yang kodrati dengan konsep gender yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, mengakibatkan terjadinya banyak  ketidakadilan dalam masyarakat berupa peminggiran, subordinasi serta diskriminasi terhadap kaum perempuan. Padahal dalam pemikiran yang progresif di masa kini, konsep gender sebagai suatu sifat atau ciri yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural tersebut, nyatanya dapat dipertukarkan serta dapat berubah dari waktu ke waktu, berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, juga dari suatu tempat ke tempat yang lain. Jelas kiranya bahwa tidak tersedia cukup alasan untuk terus menerus mempertahankan konsepsi hierarkis yang menghalangi pandangan dalam memaknai kesetaraan perempuan. 

Komunitas 22 Ibu diantara klaim kesetaraan dan kegelisahan estetik
Komunitas yang diusung oleh para perempuan lintas profesi dan bermukim tidak dalam satu wilayah ini tergolong memiliki ritme serta gairah berkarya yang cukup tinggi. Grafik aktivitas pameran yang dilakukannya memperlihatkan intensitas serta frekuensi yang membanggakan di tengah kenyataan betapa masih kurangnya perempuan yang menempuh jalan seni sebagai pilihan hidup. Para perupa yang sebagian besar memiliki profesi sebagai pendidik seni rupa ini nampak cukup memiiki siasat yang jitu dalam mengolah kesadaran dan tanggung jawab pribadinya, baik terhadap keluarga maupun institusinya. Secara khusus, yang menarik dari dinamika kreatif para perupa ini bermuara pada perkara pentingnya menjaga keterbukaan komunikasi dan membangun relasi yang hangat dan terbuka dalam koridor gagasan, pengetahuan dan regenerasi.
 
Fakta aktual memperlihatkan bagaimana komunitas ini telah tumbuh sedemikian rupa: bermula dari ikatan emosional yang terbatas dalam suatu almamater (diinisiasi oleh Ariesa Pandanwangi serta beberapa rekan), lantas berkembang menjadi komunitas yang berusaha mencairkan batas dan menyingkirkan sekat primordialnya. Saat ini keanggotaan komunitas 22 Ibu berjumlah 55 orang. Terlepas dari keunikan cara dan bagaimana mekanisme dalam tubuh organisasi ini beroperasi, sulit disangkal bahwa pertumbuhannya sejauh ini mencerminkan keseriusan dan pencapaian yang berharga.

Seberapa jauh dan seberapa besar sesungguhnya konstribusi komunitas 22 Ibu dalam upaya turut mewarnai dinamika perkembangan seni rupa di tanah air, khususnya di Bandung ? Wacana dan model estetik semacam apa yang diusung dan ditawarkan oleh komuitas ini? Mungkinkah progresivitas yang dijalankannya berhubungan dengan pencarian identitas ekspresi para perupa perempuan Indonesia ? Permasalahan tersebut, barangkali terdengar terlalu pagi, namun tidak menutup kemungkinan kelak bakal menghampiri dan membayangi siapapun perupa perempuan yang bernaung di dalamnya. Tentu tidak perlu tergesa-gesa pula membuktikan makna kerja keras hari ini sebagai jawaban generik atas intensi persoalan tersebut. Sebagaimana kita tahu, dari sekian banyak karya-karya perupa perempuan di tanah air, masih cukup sulit menemukan klaim kesetaraan gender atau permasalahan perempuan secara spesifik, yang terang benderang sebagai ntensi utama dalam karya. Kecenderungan umum dari karya-karya para perupa perempuan masih nampak mempersoalkan permasalahan sosial dan kemanusiaan, bahkan sebagian besar bertumpu pada persoalan artikulasi (pengalaman) pribadi terkait praktik estetik yang dijalaninya. 

Masih kurangnya perupa perempuan mengeksplorasi kemungkinan medium ke arah identifikasi ekspresi, memperlihatkan bahwa medium seni rupa tidak digunakan sebagai alat untuk tujuan tertentu melampaui pergulatan estetik. Dalam perspektif kebebasan berkarya, soal ini tentu saja tak mesti ditarik menjadi sempit. Persoalan yang nampak bagai narasi besar di mata para perupa perempuan ini tentu tak perlu dipahami selaku keniscayaan order tematik, melainkan tawaran intensi estetik yang berbeda. Tendensi untuk lebih menukik pada persoalan kesetaraan gender, dalam analogi yang positip tiada lain merupakan kegaduhan dalam bentuknya yang lain. Suatu tantangan kreatif yang mesti disikapi secara lebih terbuka. Dalam konteks semacam ini upaya melakukan penjarakan dengan persoalan menjadi penting. Mengingat itu, betapa berharganya memaknai keheningan sebagai kekuatan. Bukankah pada titik yang paling krusial, seni apapun bentuknya selalu mengartikulasikan kejujuran para pelakunya?

Keragaman ungkapan estetik
Bagi para perupa dalam Komunitas 22 Ibu, bulan Desember bagaikan medan magnit yang mempersatukan ikatan emosional di antara mereka. Desember tak pernah lepas dari upaya pemaknaan. 

Sebanyak 46 karya dengan pendekatan teknik serta media yang beragam kini terpajang di ‘Equilibrium Arts Gallery’. Sepintas pandang, subyect matter yang dielaborasi para perupa perempuan ini nampak bergerak di antara gambaran fenomena sosial dan lingkungan terkait dunia benda-benda, khewan, tumbuhan, dan manusia. Sementara eksplorasi media dan tekniknya beranjak dari potensi yang paling sederhana, semisal pensil, drawing pen, cat air, akrilik, hingga digital print serta mixed media. Terkecuali karya Endah Purnamasari yang mendekati karakter penataan seni instalasi, sebagian besar karya memperlihatkan kecenderungan yang berorientasi pada kekuatan ungkapan dua dimensional. Ungkapan yang bertolak dari kekuatan ingatan dan narasi kearifan lokal yang hidup di wilayah tertentu, tersirat melalui ‘Silence in Nias’ karya Ariesa Pandanwangi. Riset kecil yang dilakukannya mengantar pada ketakjuban atas narasi yang berakar pada mitologi masyarakat Nias. Yang menarik untuk diamati justru penyerapan unsur (teknik) batik yang dipilihnya. 

Penyerapan teknik itu nampak menimbulkan dialektika pemikiran paradoks dalam relasinya terhadap tradisi. Perupa yang juga memanfaatkan potensi malam dingin (ghuta tamarin) serta pewarna textile untuk merealisasikan gambaran sosok manusia, abstraksi bunga dan imaji-imaji plastis, antara lain:  Meyhawati Yuyu, Rina Mariana, Lisa Setiawati, Wien Sumarsono, Yustine, Shitra Noor Handewi dan Nina Irnawati. Penyerapan teknik batik dan eksplorasi material secara lebih lanjut terkait gagasan mengenai efek ruang (transfaran), nampak dalam perwujudan karya Niken Apriani.

Di sisi yang lain, Belinda Sukapura, Ayoeningsih Dyah W, Eneng Nani Suryati dan Etty Sukaetini nampak mengajukan keyakinan berbeda dalam upaya membangkitkan kembali gambaran dalam ingatan, Bagi para perupa ini garis sebagai pembentuk utama penggambaran,  merupakan anasir penting dalam menyusun narasi persoalan yang hendak disampaikan.Di balik narasi yang ditawarkannya, para perupa ini seolah hendak menegaskan pula bahwa medium yang  sederhana, semisal pensil, drawing pen, maupun charcoal, adalah medium yang efektif dalam mengartikulasikan berbagai narasi pengalaman hidup. Sejalan dengan keyakinan bahwa medium mampu menyampaikan pesan simbolik, Siti Sartika, Michele Wong, Entit Usdiati, Ratih Mahardika, Erni Supriyani, Nina Fajariyah, dan Nida Nabilah, nampak mendorong dan memposisikan potensi medium itu sebagai jalan untuk menemukan kosa kata visual melalui pergumulan perasaannya. 

Narasi lain yang bersumber dari persoalan-persoalan yang tumbuh di sekitar diri sebagai ekspresi pengalaman pribadi, pencarian metaphor sebagai personifikasi diri  nampak antara lain melalui  tawaran ungkapan Mia Syarief, Nita Dewi, Dini Birdieni, Arti Sugiarti, Nenni Nurbayani, Sri Sulastri, Gilang Cempaka, Risca Nogalesa, Ika Kurnia Mulyati, Nurul Primayanti, Wida Widya Kusumah, Bayyinah Nurrul Haq, Dina Lestari, Vidya Kharishma, dan Tjutju Widjaja, Dalam karya-karya para perupa tersebut, terlihat bahwa pencarian ekspresi, penyusunan narasi yang hidup, membayangi dan mendasari karya dapat bersumber dari pengamatan, impresi, imajinasi dan upaya pencarian metaphor, baik terhadap dunia benda-benda maupun penekanan atas relasi pemaknaan melalui sistem penandaan visualnya.

Bagaimana modernitas dipersoalkan dan bagaimana penyerapan atas media baru yang disokong teknologi digital di masa kini disikapi dan dimanfaatkan sebagai alat ungkap dalam penyampaian ekspresi, pengabadian momen yang fana, nampak dalam karya Arleti Mochtar Apin, Nuning Damayanti, Winda Listiani, Siti Wardiyah, Miranti Hirrjsmann, Dyah Limaningsih dan Endang Caturwati. Dalam karya para perupa tersebut, penyikapan atas medium baru memiliki peranan  vital yang membuka pula orientasi bagi eksplorai dan pencarian bahasa baru dalam wacana kontemporer. Kewaspadaan dan perlunya penyikapan yang kritis atas medium itu menjadi jalan penting menuju artikulasi yang cerdas, efektif dan juga menggugah siapapun yang meresepsinya.

Komunitas 22 Ibu dengan keragaman ungkapan yang ditawarkannya di Equilibrium Art Gallery, nyata membuktikan bahwa para perupa perempuan itu tidak membiarkan Desember berlalu tanpa kesan mendalam. Pameran seni rupa ini semoga bukan berhenti sekadar manifestasi bagi ikatan emosional yang tumbuh di sanubari masing-masing perupa belaka, melainkan menjadi langkah sadar untuk menjangkau wilayah apresiasi yang lebih luas. (Diyanto)



Selasa, 05 Desember 2017

SHOOTING PERSIAPAN PAMERAN DI GALERI MEZANIN-JAKARTA



Sabtu 2 Desember 2017 Komunitas 22 Ibu melakukan kegiatan shooting di dago resort pakar. Kegiatan ini merupakan bagian dari persiapan pameran yang akan digelar di galeri Mezanin-MEDCO grup Jakarta. Shooting tahap kesatu dimulai dari penjelasan biji asam jawa yang dikeringkan dan dibuat menjadi bubuk dan dicampur sdikit mentega plus air panas hingga menjadi guta yang siap menggantikan lilin panas untuk membatik. Tahap kedua penggunaan guta berwarna dan guta tanpa warna di atas kain poliester dan kain sutra. Tahap ketiga persiapan pewarnaan dengan menggunakan pewarna reaktif untuk kain sutra dan dispers untuk kain poliester. Tahap keempat adalah proses pewarnaan. Selanjutnya dilanjutkan wawancara terkait dengan konsep kekaryaan para perupa. Shooting diakhiri dengan proses tahapan penyetrikaan karya yang fungsinya untuk memunculkan warna pada permukaan kain. Selesai sudah acara shooting dan acara ditutup dengan makan siang bersama yang dihidangkan oleh tuan rumah. Sebelum pulang foto bersama untuk kenangan. Terimakasih untuk semua keramahtamahan penghuni rumah, terimakasih untuk kerbersamaannya dengan komunitas, terimakasih kerjasamanya dengan tim shooting pada hari ini yang telah dengan sabar mengarahkan buibu. Sampai jumpa di acara workshop batik dengan bubur tamarin di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2017. Sukses.









Art illuminations in 18th – 19th centuries manuscripts from Ngayogyakarta Hadiningrat Palace as a creative industry development

Art illuminations in 18th – 19th centuries manuscripts from Ngayogyakarta Hadiningrat Palace as a creative industry development Abstract M...