Kamis, 16 Agustus 2018

Jumat, 10 Agustus 2018

Komunitas 22 Ibu: PAMERAN ET CETERA #2

ETCETERA # 2

Momometen da Hoshiin, da Etosetora
 (aku memintamu, aku menginginkanmu, dan lain - lain )

Itulah potongan lirik lagu "Et Cetera" group band Jepang One Ok Rock yang selalu berlatih jam 1 malam. Lirik tersebut dihasratkankan bisa menjadi rangsang awal bagi resepsi dan interpretasi bagi

Komunitas 22 Ibu dalam berkarya. Pameran bertajuk "Et Cetera" – suatu istilah dari bahasa Latin yang berarti dan lain-lain, terbagi dalam dua bagian.

Sebagaimana pameran sebelumnya, Etcetera # 2 diusung pula oleh 20 perupa perempuan. 

Pameran ini mencoba memperlihatkan kemungkinan keragaman pencarian dan pencapaian estetik para perupa dalam Komunitas 22 Ibu dalam rentang 3 tahun terakhir.
Dunia seni rupa saat ini tidak hanya tumbuh menjadi semakin kaya, namun juga berkembang semakin kompleks. Perkembangan dan pergeseran itu bukan hanya dalam soal pencapaian nilai estetis, tetapi juga terkait kriteria dan proses penciptaan.

Di masa kini, proses kreasi nampak tak lagi steril dan bersifat sangat individual : semata mengandalkan intuisi, kepekaan emosi, bahkan keterampilan belaka. Karya seni yang diproduksi seperti menuntut suatu kondisi tertentu, di mana pengetahuan tentang  seni saja tidak lagi  dianggap cukup, dibutuhkan pula pengetahuan tentang kebudayaan, sosial, dan filsafat. Dalam banyak sisi, keintiman, dan keseriusan para perupa terhadap perkara kognitif dalam kaitan proses observasi (mengamati, mengenali, dan   membaca) bagaimana kebudayaan bergerak menjadi sangat dibutuhkan. 

Watak modernitas dan modernisme yang cenderung mengkategorisasikan berbagai hal dan mengkotakkannya sedemikian rupa, menyebabkan seni dikenali dalam rumusan dikotomis : seni tinggi-seni rendah, atau seni murni – seni terapan. Namun, perkembangan eksplorasi media yang membawa pula paradigma baru, nyatanya telah menyebabkan batasan itu jadi meleleh. Kini, batasan mengenai kebudayaan tinggi maupun kebudayaan massa kian kabur. Dalam lain kata, saat arus pemikiran dan ukuran kebenaran tidak lagi mutlak tunggal, tidak mustahil berbagai kerancuan, ambiguitas, dan paradoksal nilai juga turut membayangi. Dan kabar baiknya, realitas semacam itu, justru yang mendorong terjadinya eksplorasi tema dan bentuk-bentuk artistik dalam praktik seni rupa.
Pencarian nilai ekspresi sebagai Jalan terbuka

Komunitas yang diusung oleh para perempuan lintas profesi dan bermukim tidak dalam satu wilayah ini tergolong memiliki ritme berkarya yang cukup tinggi, Grafik aktivitas pameran yang dilakukannya memperlihatkan frekuensi yang membaggakan di tengah kenyataan betapa masih kurangnya perempuan yang menempuh jalan seni sebagai pilihan hidup.

Para perupa yang sebagian besar memiliki profesi sebagai pendidik seni rupa ini nampak cukup memiiki siasat dalam mengolah kesadaran dan tanggung jawab pribadinya, baik terhadap keluarga maupun institusinya. Secara khusus, yang menarik dari dinamika kreatif para perupa ini bermuara pada perkara pentingnya menjaga keterbukaan komunikasi dan membangun relasi yang hangat dan terbuka dalam koridor gagasan, pengetahuan dan regenerasi.

Karya-karya yang tampil dalam ‘Et cetera # 2’, nampak membawa ungkapan ekspresi beragam. Keragaman itu nampak dibangun melalui perbedaan eksplorasi media dan teknik yang beranjak dari potensi paling sederhana, semisal keutamaan pensil, drawing pen, cat air, akrilik, ghutta tamarin hingga digital print serta mixed media.

Sementara soal elaborasi subyect matter para perupa perempuan ini nampak bergerak di antara gambaran fenomena sosial dan lingkungan terkait dunia benda-benda, hewan, tumbuhan, dan manusia. Intensi yang dikemukakan pun beragam, mulai dari upaya mengabadikan sensasi keindahan alam, persoalan yang dirasakan baik dalam kaitan personifikasi maupun respon personal atas kehidupan.

Penyerapan unsur (teknik) batik yang dipraktikan oleh Niken Apriani,  Arleti Mochtar Apin, Yetti Nurhayati, Sri Nuraeni, dan Wien Melina  nampak menyandang dialektika praktik modern yang  disandingkan pada tradisi : memanfaatkan potensi malam dingin (ghuta tamarin) dan pewarna textile untuk merealisasikan gambaran abstraksi bunga, imaji-imaji plastis, problem transfaransi ruang, memperlihatkan bagaimana teknik gutta tamarin itu digunakan selain untuk perintang warna juga difungsikan sebagai jalan bagi artikulasi persoalan yang dipikirkan dan dirasakannya. 
Dalam bentuk pengucapan yang lain,  pengalaman estetik yang tumbuh di sekitar diri sebagai ekspresi pengalaman pribadi ke arah pencarian metaphor dan personifikasi diri, nampak antara lain melalui  ungkapan Meyhawati Yuyu Julaeha Rasep, Siti Sartika, Eneng Nani Suryati, Wida Widya Kusumah,  Ety Sukaetini, Atrida Wilastrina, Sri Rahayu Saptawati, dan Almira Belinda Zainsjah.

Dalam karya-karya para perupa tersebut, terlacak bahwa pencarian dan penyusunan citra visual serta narasi yang mendasari karya selain bermula dari pengamatan atas sensasi, imajinasi serta penggalian metaphor terhadap dunia benda-benda termasuk pula penekanan atas relasi makna melalui sistem penandaan visualnya, beranjak dari upaya membangkitkan kembali berbagai  gambaran dalam ingatan.

Penyerapan atas media baru yang disokong teknologi digital sebagai alat ungkap ekspresi, dalam berbagai bentuknya telah  disikapi dan dmanfaatkan oleh banyak perupa.

Pengabadian peristiwa (momen) yang fana atau bagaimana realitas yang sesungguhnya bergerak cepat itu dibekukan, nampak dalam ungkapan karya Dyah Limaningsih, Eksplorasi lebih lanjut dilakukan Cama Juli Ria, Thalita, Luki Lutvia dan Wanda Listiani. Penyikapan atas medium serta kemungkinan dari  pengolahan citra (visual) itu selain menjangkau orientasi artistik dan tematik yang khas dalam  membawa cita rasa, representasi itu memungkinkan terjadinya penyerapan teknik secara lanjut dalam lukisan seperti keutamaan yang ditempuh oleh Tjutju Widjaja.
Pergumulan dan pencarian nilai ekspresi yang ditempuh oleh para perupa dalam Komunitas 22 Ibu dengan keragaman ungkapan yang ditawarkannya di thee huis gallery ini tentu tidak sedang mengusulkan cara baru dalam mengartikulasikan berbagai persoalan dalam kehidupan secara estetis, melainkan turut menawarkan dan memperkaya ikhwal dan lain-lain sebagai entitas yang bermakna dalam proses kreasi menjadi semacam jalan terbuka bagi apresiasi, terlebih mengingat bahwa pengucapan seni sejatinya  senantiasa menawarkan ke-beragam-an dan unik.

Bandung, 10 Agustus 2018
Diyanto

Selasa, 07 Agustus 2018

Pameran Rekam Jejak Komunitas 22 Ibu


Pameran ini diselenggarakan 7- 9 Agustus 2018 di Galeri Thee Huis. Pameran ini merupakan pameran arsip yang terdokumentasikan dengan baik. Merekam perjalanan komunitas 22 Ibu dari tahun 21 April 2013 hingga 7 Agustus 2018.

Dokumen arsip di pamerkan dalam bentuk berita di media massa, foto, rekaman video kegiatan, quotes, DVD yang berisi rekaman TVRI dan stasiun swasta lainnya, undangan, katalog, buku dengan tema pameran yang berisikan tulisan dari para pendidik seni, dan leaflet.

Link berita ini dapat diakses melalui http://jabar.pojoksatu.id/bandung/2018/08/09/lihat-ada-di-sini-rekam-jejak-komunitas-22-ibu-di-ruang-galeri-thee-huis/

http://www.inilahnews.com/2018/08/10/komunitas-22-ibu-gelar-pameran-arsip/

Sabtu, 04 Agustus 2018

Komunitas 22 Ibu: PEMBUKAAN PAMERAN ET CETERA #1 GALERI THEE HUIS

Bandung Art Month 2018

Pameran Et Cetera #1
01-07 Agustus 2018

Bandung menggelar program Bandung Art Month 2018 yang melibatkan galeri, komunitas, seniman, ruang-ruang publik, dan masih banyak lagi. Kegiatan yang digelar dari pameran, workshop, kunjungan ke rumah seniman, diskusi, pemutaran film dan masih banyak lagi. Dalam hal ini komunitas 22 Ibu yang aktif berkegiatan seni, kali ini menggelar pameran dengan tajuk Et Cetera#1 pada tanggal 1 Agustus 2018 hingga 7 Agustus 2018. Pameran ini dibuka pada tanggal 1 Agustus 2018 oleh Bapak Iwan Gunawan,
Kasi atraksi seni budaya, UPTD ~ pengelolaan kebudayaan daerah Jawa Barat. Juga dimeriahkan oleh Ganiati.





Kegiatan pameran ini dapat terselenggara atas kerjasama banyak pihak antara Komunitas 22 Ibu dengan BNI selaku Bank Nasional di Indonesia yang berskala Nasional, Galeri Thee Huis dan Pojok Jabar.

Diyanto selaku kurator menyampaikan bahwa dalam pameran kali ini para perupa yang ditampilkan hanya 20 orang saja. Mereka yang menyajikan karyanya dalam Et Cetera #1 ini adalah Ariesa Pandanwangi, Arti Sugiarti, Ayoeningsih Dyah Woelandhary, Belinda Sukapura Dewi, Ika Kurnia Mulyati, Shitra Noor Handewi, Rina Mariana,
Neny Nurbayani, Niken Apriani, Mia Syarief, Risca Nogalesa Pratiwi, Dini Birdieni, Endah Purnamasari, Endang Caturwati, Nita Dewi, Nida Nabila, Nina Irnawati, Nuning Damayanti, Sri Sulastri, Yustine.






Tajuk pameran ini mengusung Et Cetera.
Momometen da Hoshiin, da Etosetora
(aku memintamu, aku menginginkanmu, dan lain - lain)

Itulah potongan lirik lagu "Et Cetera" group band Jepang One Ok Rock yang selalu berlatih jam 1 malam. Lirik yang ditulis oleh Taka dan digubah bersama Alex tersebut merupakan rangsang awal bagi resepsi dan interpretasi karya bagi Komunitas 22 Ibu dalam pameran bertajuk "Et Cetera", suatu istilah dari bahasa latin yang berarti dan lain - lain.

Pameran ini mencoba memperlihatkan kemungkinan keragaman pencarian dan pencapaian estetik para perupa dalam Komunitas 22 Ibu dalam rentang 3 tahun terakhir. Niken Apriani salah satu perupa menyampaikan bahwa kali ini ia mengusung karya karyanya yang terdiri atas dua layer yang memperlihatkan kesan tiga dimensi. Kesan tersebut dimunculkan melalui penempatan objek pada layer kain yang berbeda dan ada jarak antara lapisan layer bawah dengan lapisan layer atas. Karya saya ini menjadi pilihan saya dalam proses penciptaan sekaligus menjadi ciri khas saya, demikian pungkas Niken.

Saat ini, dunia seni rupa tidak hanya tumbuh menjadi semakin kaya, namun juga berkembang semakin kompleks. Perkembangan dan geseran itu bukan hanya dalam soal pencapaian nilai estetis, tetapi juga terkait kriteria dan proses penciptaan.

Kini, sebagaimana kita ketahui, suatu objek seni  yang diproduksi, menuntut suatu kondisi tertentu di mana pengetahuan tentang seni saja tidak lagi  cukup, tetapi dibutuhkan pula pengetahuan tentang kebudayaan, sosial, dan filsafat. Dalam banyak sisi, proses kreasi saat ini nampak tidak lagi steril dan bersifat individual yang mengandalkan intuisi, kepekaan emosi dan rasa, bahkan keterampilan belaka. Keintiman, dan keseriusan para perupa terhadap perkara kognitif dalam kaitan mengamati, mengenali, dan membaca bagaimana kebudayaan bergerak menjadi sangat dibutuhkan. 

Komunitas yang diusung oleh para perempuan lintas profesi dan bermukim tidak dalam satu wilayah ini tergolong memiliki ritme serta gairah berkarya yang cukup tinggi, Grafik aktivitas pameran yang dilakukannya memperlihatkan intensitas serta frekuensi yang membanggakan di tengah kenyataan betapa masih kurangnya perempuan yang menempuh jalan seni sebagai pilihan hidup.

Para perupa yang sebagian besar memiliki profesi sebagai pendidik seni rupa ini nampak cukup memiiki siasat dalam mengolah kesadaran dan tanggung jawab pribadinya, baik terhadap keluarga maupun institusinya. Secara khusus, yang menarik dari dinamika kreatif para perupa ini bermuara pada perkara pentingnya menjaga keterbukaan komunikasi dan membangun relasi yang hangat dan terbuka dalam koridor gagasan, pengetahuan dan regenerasi.

Sepintas pandang, karya-karya yang ditampilkan dalam ‘Et cetera # 1’, nampak membawa ungkapan ekspresi yang beragam. Keragaman itu nampak dibangun melalui perbedaan eksplorasi media dan teknik yang beranjak dari potensi paling sederhana, semisal keutamaan pensil, drawing pen, cat air, akrilik, gutta tamarin hingga digital print serta mixed media. Sementara soal subyect matter yang dielaborasi para perupa perempuan ini nampak bergerak di antara gambaran fenomena sosial dan lingkungan terkait dunia benda-benda, khewan, tumbuhan, dan manusia.

Intensi yang dibawa pun beragam, mulai dari upaya mengabadikan sensasi keindahan alam, persoalan yang dirasakan baik dalam kaitan personifikasi maupun respon personal atas kehidupan, hingga gagasan yang bersifat inter aktif.

Pergumulan dan pencarian nilai ekspresi yang ditempuh dan dijalani oleh para perupa yang tergabung dalam Komunitas 22 Ibu dengan keragaman ungkapan yang ditawarkannya di thee huis gallery ini tentu tidak sedang mengusulkan cara baru dalam mengartikulasikan berbagai persoalan dalam kehidupan secara estetis, melainkan turut menawarkan dan memperkaya ikhwal dan lain-lain sebagai entitas yang bermakna dalam proses kreasi menjadi semacam jalan terbuka bagi apresiasi, terlebih mengingat bahwa pengucapan seni sejatinya  senantiasa menawarkan ke-beragam-an dan unik.

Sumber: Diyanto-Kurator, dan Komunitas 22 Ibu

Komunitas 22 Ibu: MITOS, LEGENDA INDONESIA DI MUSEUM BASUKI ABDULLAH

Cerita dan Mitos Indonesia dalam Ekspresi Batik Lilin Dingin di Museum Basoeki Abdullah

Pameran
27 Juli 2018 – 10 Agustus 2018
09.00-16.00

Workshop batik lilin dingin
10 Agustus 2018
09.00-10.00

Komunitas22 Ibu adalah kumpulan perempuan pendidik seni di Indonesia yang bermarkas di Bandung dan Jakarta. Kali ini dalam rangka mengangkat kearifan lokal yang dikaitkan dengan pendidikan karakter menggelar pameran batik yang mengangkat mitos dan legenda cerita dari Indonesia. Yang divisualisasikan dengan media gutta tamarin. Yaitu sejenis olahan yang dibuat dari biji asam jawa. Kali ini kegiatan digelar pameran dan workshop, bekerja sama dengan pihak Museum Basuki Abdullah dari tanggal 27 Juli hingga 10 Agustus 2018. Pameran dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta Bapak Anies Baswedan, yang memiliki perhatian besar terhadap bidang seni. Sedangkan workshop batik diadakan pada tanggal 10 Agustus 2018.




Tema pameran
Tema besar pameran ini adalah salah satu dari jenis atau kategori dari lukisan-lukisan Basoeki Abdullah, yaitu Drama, mitos, dan spiritual. Kategori ini ingin menggambarkan situasi pikiran Basoeki Abdullah yang penuh dengan sikap-sikap religious, serta spirit local dengan pembawaan yang romantis. Dalam kategori ini sejumlah tema dapat dimasukan, seperti cerita pewayangan, dunia religi, cerita rakyat, duni mitos, maupun hal-hal yang terkait dengan tema-tema yang bersifat naratif, seperti Korban Kelaparan di Padang Tandus dan karya Batu-Batu Bersejarah. Kategori ini menandai rangkaian pemikiran Basoeki Abdullah yang tak bisa lepas dari peran sosialnya sebagai anggota masyarakat.

Basoeki Abdullah merupakan salah satu pelukis maestro yang dimiliki Indonesia, dikenal sebagai pelukis aliran realis dan naturalis. Karya-karyanya menghiasi istana negara dan kepresidenan Indonesia, karyanya juga koleksi oleh para kolektor dari berbagai penjuru dunia. Basuki Abdullah terkenal sebagai seorang pelukis potret, terutama melukis wanita-wanita cantik, keluarga kerajaan dan kepala negara yang cenderung mempercantik atau memperindah seseorang ketimbang wajah aslinya. Selain sebagai pelukis potret yang ulung, diapun melukis pemandangan alam, fauna, flora, tema-tema perjuangan, pembangunan dan sebagainya.

Tujuan kegiatan
Kegiatan ini diadakan bertujuan untuk semakin memperkenalkan tehnik Batik lilin dingin kepada masyarakat, dan disisi lain juga untuk mengenang dan menghormati hasil karya salah satu maestro lukis Indonesia yang luar biasa. Karya batik yang akan dipamerkan adalah karya dari 42 perupa dari komunitas 22 ibu sektor Bandung dan komunitas 22 Ibu sektor Jakarta, yang terdiri dari Perempuan Pendidik Seni Indonesia, serta Guru dan Dosen lain dari Lintas PT di Indonesia.

Pameran ini akan mengangkat karya seni rupa yang digagas dari cerita mitos dan legenda dari Indonesia yang berisi pesan moral dan kebaikan.

Perupa yang berpameran
Adapun nama nama perupa yang menyajikan karya seninya yang tampil dalam pameran ini adalah: Almira Belinda Zainsjah, Ariesa Pandanwangi, Arleti Mochtar Apin, Atridia Wilastrina, Ayoeningsih Dyah Woelandhary, Bayyinah Nurrul Haq, Belinda Sukapura Dewi, Cama Juli Ria, Dina Fatimah, Dina Lestari, Dyah Limaningsih Wariyanti, Endang Caturwati, Ety Sukaetini, Febry Maharlika, Gilang Cempaka, Ida Rustiana Ganda, Luki Lutvia, Meyhawati Yuyu Julaeha Rasep, Mia Syarief, I.G.P.A Mirah Rahmawati, Nida Nabila, Nina Irnawati, Nina Fajariah, Ratih Mahardika, Rina Mariana, Shitra Noor Handewi, Siti Sartika, Siti Wardiyah Sabri, Sri Nuraeni, Sri Rahayu Saptawati, Sri Sulastri, Tjutju Widjaja, Ulfa Septiana, Vera Gede Utami, Vidya Kharishma, Wanda Listiani, Wida Widya Kusumah, Wien K Meilina, Yully Ambarsih Ekawardhani, Yunita Fitria Andriana, Yustine, Zaenab Ahmad Shahab. Mereka berasal dari Bandung, Jakarta, Bali, dan Purwakarta.

Proses penciptaan
Kurator akan menetapkan 10 cerita dari Indonesia yang mengusung moral dan kebaikan bagi pembentukan karakter generasi bangsa. Adapun 10 cerita tersebut terdiri atas 5 cerita Mitos dan 5 cerita Legenda. Jadi setiap 1 cerita akan digarap olahan visualnya oleh 5 perempuan perupa berdasarkan urutan cerita, dan merepresentasikan narasi visualnya di atas wastra yang berukuran 40 cm x 115-120 cm. Menurut Niken Apriani, sebagai pengembang teknik batik dengan media gutta tamarin bahwa teknik ini sebenarnya perkembangan dari teknik batik yang ada, saya merasa senang karena makin bnyak orang yang tertarik mnggunakan gutta tamarin dan mempraktikannya. Hasilnya dalam pameran kali ini karya karya yang di pamerkan memang bervariasi, ada yang masih butuh jam terbang lebih banyak lagi tapi banyak juga yg sudah sangat memuaskan.

Tanggapan yang menarik datang dari Mirah Rahmawati sebagai perupa yg baru bergabung dengan Komunitas 22 ibu dan tinggal di Bali. Ia juga berprofesi sebagai dosen di PGRI Bali. Menurutnya " media gutha adalah media yang baru bagi saya, tetapi berkat bantuan teman tema dn bimbingan mereka dalam proses gutha tamarin, semua tantangan proses penciptaan dapat diselesaikan. Komunitas ini sangat bagus karena saling mensupport satu sama lain, demikian paparnya ketika dihubungi oleh tim wartawan dengan komunikasi jarak jauh.

Sedangkan menurut Nuning Damayanti selaku kurator bahwa pameran ini menarik dan unik karena merupakan ilustrasi dan narasi visual dari sejumlah mitos dan legenda yang dipilih dari beberapa wilayah propinsi tanah air, yang diilustrasikan pada kain melalui teknik batik lilin dingin dari bahan alami biji asam/tamarin.

Tatangan terberat menurut Ketua pelaksana pameran ini Ibu Ayoeningsih Dyah Woelandhary yang juga dosen Desain Komunikasi Visual di Universitas Paramadina adalah tidak mudah mengkordinir pameran yang melibatkan lintas institusi baik dari panitia maupun perupa, perlu komitmen dan komunikasi intens biar semua, terlebih di medio persiaapan pameran ada lebaran, ujian akhir semester mahasiswa, ujian siswa dll. Semua sibuk dan harus komit atur waktu.
Tambahnya dalam paparannya bahwa kegiatan ini juga menyelenggarakan
Workshop batik yang tentu bisa diikuti semua kalangan, tetapi untuk event ini karena ada tujuan edukasi, jadi kita konsen mengajak siswa di sekolah sekitar museum untuk terlibat dalam workshop batik ini.

Harapan saya tema pameran sejenis akan bertumbuh, tidak hanya untuk diapresiasi, juga untuk edukasi. Dan pengembangan batik ramah lingkungan bisa makin dikenal masyarakat luas.


Art illuminations in 18th – 19th centuries manuscripts from Ngayogyakarta Hadiningrat Palace as a creative industry development

Art illuminations in 18th – 19th centuries manuscripts from Ngayogyakarta Hadiningrat Palace as a creative industry development Abstract M...