ETCETERA # 2
Momometen da Hoshiin, da Etosetora
(aku memintamu, aku menginginkanmu, dan lain - lain )
Itulah potongan lirik lagu "Et Cetera" group band Jepang One Ok Rock yang selalu berlatih jam 1 malam. Lirik tersebut dihasratkankan bisa menjadi rangsang awal bagi resepsi dan interpretasi bagi
Komunitas 22 Ibu dalam berkarya. Pameran bertajuk "Et Cetera" – suatu istilah dari bahasa Latin yang berarti dan lain-lain, terbagi dalam dua bagian.
Sebagaimana pameran sebelumnya, Etcetera # 2 diusung pula oleh 20 perupa perempuan.
Pameran ini mencoba memperlihatkan kemungkinan keragaman pencarian dan pencapaian estetik para perupa dalam Komunitas 22 Ibu dalam rentang 3 tahun terakhir.
Dunia seni rupa saat ini tidak hanya tumbuh menjadi semakin kaya, namun juga berkembang semakin kompleks. Perkembangan dan pergeseran itu bukan hanya dalam soal pencapaian nilai estetis, tetapi juga terkait kriteria dan proses penciptaan.
Di masa kini, proses kreasi nampak tak lagi steril dan bersifat sangat individual : semata mengandalkan intuisi, kepekaan emosi, bahkan keterampilan belaka. Karya seni yang diproduksi seperti menuntut suatu kondisi tertentu, di mana pengetahuan tentang seni saja tidak lagi dianggap cukup, dibutuhkan pula pengetahuan tentang kebudayaan, sosial, dan filsafat. Dalam banyak sisi, keintiman, dan keseriusan para perupa terhadap perkara kognitif dalam kaitan proses observasi (mengamati, mengenali, dan membaca) bagaimana kebudayaan bergerak menjadi sangat dibutuhkan.
Watak modernitas dan modernisme yang cenderung mengkategorisasikan berbagai hal dan mengkotakkannya sedemikian rupa, menyebabkan seni dikenali dalam rumusan dikotomis : seni tinggi-seni rendah, atau seni murni – seni terapan. Namun, perkembangan eksplorasi media yang membawa pula paradigma baru, nyatanya telah menyebabkan batasan itu jadi meleleh. Kini, batasan mengenai kebudayaan tinggi maupun kebudayaan massa kian kabur. Dalam lain kata, saat arus pemikiran dan ukuran kebenaran tidak lagi mutlak tunggal, tidak mustahil berbagai kerancuan, ambiguitas, dan paradoksal nilai juga turut membayangi. Dan kabar baiknya, realitas semacam itu, justru yang mendorong terjadinya eksplorasi tema dan bentuk-bentuk artistik dalam praktik seni rupa.
Pencarian nilai ekspresi sebagai Jalan terbuka
Komunitas yang diusung oleh para perempuan lintas profesi dan bermukim tidak dalam satu wilayah ini tergolong memiliki ritme berkarya yang cukup tinggi, Grafik aktivitas pameran yang dilakukannya memperlihatkan frekuensi yang membaggakan di tengah kenyataan betapa masih kurangnya perempuan yang menempuh jalan seni sebagai pilihan hidup.
Para perupa yang sebagian besar memiliki profesi sebagai pendidik seni rupa ini nampak cukup memiiki siasat dalam mengolah kesadaran dan tanggung jawab pribadinya, baik terhadap keluarga maupun institusinya. Secara khusus, yang menarik dari dinamika kreatif para perupa ini bermuara pada perkara pentingnya menjaga keterbukaan komunikasi dan membangun relasi yang hangat dan terbuka dalam koridor gagasan, pengetahuan dan regenerasi.
Karya-karya yang tampil dalam ‘Et cetera # 2’, nampak membawa ungkapan ekspresi beragam. Keragaman itu nampak dibangun melalui perbedaan eksplorasi media dan teknik yang beranjak dari potensi paling sederhana, semisal keutamaan pensil, drawing pen, cat air, akrilik, ghutta tamarin hingga digital print serta mixed media.
Sementara soal elaborasi subyect matter para perupa perempuan ini nampak bergerak di antara gambaran fenomena sosial dan lingkungan terkait dunia benda-benda, hewan, tumbuhan, dan manusia. Intensi yang dikemukakan pun beragam, mulai dari upaya mengabadikan sensasi keindahan alam, persoalan yang dirasakan baik dalam kaitan personifikasi maupun respon personal atas kehidupan.
Penyerapan unsur (teknik) batik yang dipraktikan oleh Niken Apriani, Arleti Mochtar Apin, Yetti Nurhayati, Sri Nuraeni, dan Wien Melina nampak menyandang dialektika praktik modern yang disandingkan pada tradisi : memanfaatkan potensi malam dingin (ghuta tamarin) dan pewarna textile untuk merealisasikan gambaran abstraksi bunga, imaji-imaji plastis, problem transfaransi ruang, memperlihatkan bagaimana teknik gutta tamarin itu digunakan selain untuk perintang warna juga difungsikan sebagai jalan bagi artikulasi persoalan yang dipikirkan dan dirasakannya.
Dalam bentuk pengucapan yang lain, pengalaman estetik yang tumbuh di sekitar diri sebagai ekspresi pengalaman pribadi ke arah pencarian metaphor dan personifikasi diri, nampak antara lain melalui ungkapan Meyhawati Yuyu Julaeha Rasep, Siti Sartika, Eneng Nani Suryati, Wida Widya Kusumah, Ety Sukaetini, Atrida Wilastrina, Sri Rahayu Saptawati, dan Almira Belinda Zainsjah.
Dalam karya-karya para perupa tersebut, terlacak bahwa pencarian dan penyusunan citra visual serta narasi yang mendasari karya selain bermula dari pengamatan atas sensasi, imajinasi serta penggalian metaphor terhadap dunia benda-benda termasuk pula penekanan atas relasi makna melalui sistem penandaan visualnya, beranjak dari upaya membangkitkan kembali berbagai gambaran dalam ingatan.
Penyerapan atas media baru yang disokong teknologi digital sebagai alat ungkap ekspresi, dalam berbagai bentuknya telah disikapi dan dmanfaatkan oleh banyak perupa.
Pengabadian peristiwa (momen) yang fana atau bagaimana realitas yang sesungguhnya bergerak cepat itu dibekukan, nampak dalam ungkapan karya Dyah Limaningsih, Eksplorasi lebih lanjut dilakukan Cama Juli Ria, Thalita, Luki Lutvia dan Wanda Listiani. Penyikapan atas medium serta kemungkinan dari pengolahan citra (visual) itu selain menjangkau orientasi artistik dan tematik yang khas dalam membawa cita rasa, representasi itu memungkinkan terjadinya penyerapan teknik secara lanjut dalam lukisan seperti keutamaan yang ditempuh oleh Tjutju Widjaja.
Pergumulan dan pencarian nilai ekspresi yang ditempuh oleh para perupa dalam Komunitas 22 Ibu dengan keragaman ungkapan yang ditawarkannya di thee huis gallery ini tentu tidak sedang mengusulkan cara baru dalam mengartikulasikan berbagai persoalan dalam kehidupan secara estetis, melainkan turut menawarkan dan memperkaya ikhwal dan lain-lain sebagai entitas yang bermakna dalam proses kreasi menjadi semacam jalan terbuka bagi apresiasi, terlebih mengingat bahwa pengucapan seni sejatinya senantiasa menawarkan ke-beragam-an dan unik.
Bandung, 10 Agustus 2018
Diyanto
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Art illuminations in 18th – 19th centuries manuscripts from Ngayogyakarta Hadiningrat Palace as a creative industry development
Art illuminations in 18th – 19th centuries manuscripts from Ngayogyakarta Hadiningrat Palace as a creative industry development Abstract M...
-
Batik di tengah gempuran kemajuan teknologi tetap memperlihatkan eksistensinya. Pengakuan UNESCO terhadap eksistensi batik, semakin ban...
-
Dinding kota banyak yang dibuat menjadi bergambar diistilahkan oleh anak milenial ngamural. Mural kini menjadi penanda kota ataupun sebuah w...
-
Serombongan anak anak sekolah dari SMP Negeri 4 dipandu oleh Guru Seni Budaya-Ibu Sri Sulastri- tampak memenuhi ruang Galeri Sejarah dan Keb...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar