Rabu, 06 Desember 2017

THE POWER of SILENCE



THE POWER of SILENCE:
Pencarian identitas ekspresi dalam kekuatan hening

by
Diyanto

Setiap hari, semenjak mata terbuka, berbagai fenomena sosial-politik selalu menyergap dan memberi kejutan-kejutan terbaru lewat isu tumpang-tindih di media sosial dan sosial media. Nyaris seluruh energi kita terkuras untuk terpancing saling berbalas opini di ruang publik. Luapan informasi tak terbendung dan membanjiri jagat publik, menyebabkan kegaduhan luar biasa hingga tak gampang lagi dicerna oleh nalar. Membiarkan diri untuk terus terlarut dalam kegaduhan semacam itu sebenarnya merupakan alarm kuat yang menyatakan bahwa kita tengah terjebak dalam pusaran kebuntuan logika akut. Belum selesai mengupas suatu isu, muncul lagi isu terbaru yang lebih menarik dan sensual. Dalam dunia yang kian berisik ini, diam adalah pilihan berharga. Tapi kenapa? Nilai apa sesungguhnya yang diperoleh dari keheningan untuk orang-orang yang berada di tengah-tengah dunia yang bergerak cepat ini?
 
Konon, keheningan diyakini mampu membantu seseorang untuk mengingat, untuk kembali ke dalam dirinya sendiri, memasuki kedalaman hati spiritualnya, menghubungkan, memelihara, serta memperkaya aspek transendental kehidupan. Sebab itu, keheningan selain menyediakan ruang bagi jiwa untuk membedakan dan mendengar suara kebenaran dari masa lalu, dapat pula digunakan sebagai senjata dalam mengusir kegalauan situasi karena energinya yang kuat, 

Kegaduhan yang ditimbulkan oleh denyut perubahan situasi yang berlangsung cepat, secara umum dihadapi pula oleh setiap orang di berbagai belahan dunia manapun, dan tidak mustahil dihayati pula oleh sebagian besar para perupa  perempuan yang tergabung di  dalam Komunitas 22 Ibu. Para perempuan perupa ini dalam menjalani serta mengalami seluruh konsekuensi logis atas  pilihannya selaku seniman tentu tak terhindar dari kegaduhan eksistensialnya di tengah dominasi persepsi profesi yang berkembang dalam masyarakat. Tidak mudah, memang untuk senantiasa konsisten terhadap pilihan yang ditempuh, mengingat persepsi yang berkembang di masyarakat kita sejauh ini masih terus dibayangi pemikiran lama yang memandang sebelah mata segala pencapaian berharga para perempuan. Dalam ingatan kita, tentu masih terdengar jelas tentang seloroh konyol yang mendiskreditkan posisi para permpuan dalam konteks seni :  Benarkah eksistensi  perempuan sebagai subjek seni kalah besar dibandingkan perempuan sebagai objek seni?. 

Perempuan: Kodrat dan Konstruksi Sosial-Budaya
Perbedaan antara perempuan dan laki-laki sesungguhnya tidak hanya terbatas pada kriteria biologis, melainkan juga berkaitan dengan kriteria sosial dan budaya yang ditandai berdasarkan dua konsep, yakni jenis kelamin dan gender. Perbedaaan jenis kelamin mengacu terutama pada soal perbedaan fisik, khususnya fungsi reproduksi, sedangkan gender merupakan interpretasi sosial dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin. Dalam konteks semacam itulah, gender memisahkan atribut dan pekerjaan dalam dua kategori : maskulin dan feminine. Kategori yang  pertama (maskulin), biasa ditempati oleh laki-laki sementara kategori feminin diperuntukan bagi perempuan.

Namun, pengertian jenis kelamin (seks) yang menjadi kodrat manusia kerap disalahpahami dan disamakan begitu saja dengan konsep gender, sehingga terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut dengan gender dan seks. Gender yang sejatinya merupakan konstruksi sosial maupun budaya dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau keniscayaan yang diciptakan Tuhan. Sebab itu, tidak mengherankan jika dalam ritme kehidupan sehari-hari di masyarakat, peran perempuan yang dikonstruksi berdasarkan gender itu identik dengan pekerjaan domestik (membersihkan rumah, memasak, mencuci,  mendidik anak, dan melayani suami) dianggap “sudah menjadi kodrat perempuan”. Seandainya perempuan tidak melakukan pekerjaan domestik tersebut, tak pelak dituduh  “menyalahi kodrat perempuan” dan “tercela” di mata sebagian masyarakat.

Kerancuan dan pemutarbalikan makna antara konsep jenis kelamin (seks) yang kodrati dengan konsep gender yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, mengakibatkan terjadinya banyak  ketidakadilan dalam masyarakat berupa peminggiran, subordinasi serta diskriminasi terhadap kaum perempuan. Padahal dalam pemikiran yang progresif di masa kini, konsep gender sebagai suatu sifat atau ciri yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural tersebut, nyatanya dapat dipertukarkan serta dapat berubah dari waktu ke waktu, berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, juga dari suatu tempat ke tempat yang lain. Jelas kiranya bahwa tidak tersedia cukup alasan untuk terus menerus mempertahankan konsepsi hierarkis yang menghalangi pandangan dalam memaknai kesetaraan perempuan. 

Komunitas 22 Ibu diantara klaim kesetaraan dan kegelisahan estetik
Komunitas yang diusung oleh para perempuan lintas profesi dan bermukim tidak dalam satu wilayah ini tergolong memiliki ritme serta gairah berkarya yang cukup tinggi. Grafik aktivitas pameran yang dilakukannya memperlihatkan intensitas serta frekuensi yang membanggakan di tengah kenyataan betapa masih kurangnya perempuan yang menempuh jalan seni sebagai pilihan hidup. Para perupa yang sebagian besar memiliki profesi sebagai pendidik seni rupa ini nampak cukup memiiki siasat yang jitu dalam mengolah kesadaran dan tanggung jawab pribadinya, baik terhadap keluarga maupun institusinya. Secara khusus, yang menarik dari dinamika kreatif para perupa ini bermuara pada perkara pentingnya menjaga keterbukaan komunikasi dan membangun relasi yang hangat dan terbuka dalam koridor gagasan, pengetahuan dan regenerasi.
 
Fakta aktual memperlihatkan bagaimana komunitas ini telah tumbuh sedemikian rupa: bermula dari ikatan emosional yang terbatas dalam suatu almamater (diinisiasi oleh Ariesa Pandanwangi serta beberapa rekan), lantas berkembang menjadi komunitas yang berusaha mencairkan batas dan menyingkirkan sekat primordialnya. Saat ini keanggotaan komunitas 22 Ibu berjumlah 55 orang. Terlepas dari keunikan cara dan bagaimana mekanisme dalam tubuh organisasi ini beroperasi, sulit disangkal bahwa pertumbuhannya sejauh ini mencerminkan keseriusan dan pencapaian yang berharga.

Seberapa jauh dan seberapa besar sesungguhnya konstribusi komunitas 22 Ibu dalam upaya turut mewarnai dinamika perkembangan seni rupa di tanah air, khususnya di Bandung ? Wacana dan model estetik semacam apa yang diusung dan ditawarkan oleh komuitas ini? Mungkinkah progresivitas yang dijalankannya berhubungan dengan pencarian identitas ekspresi para perupa perempuan Indonesia ? Permasalahan tersebut, barangkali terdengar terlalu pagi, namun tidak menutup kemungkinan kelak bakal menghampiri dan membayangi siapapun perupa perempuan yang bernaung di dalamnya. Tentu tidak perlu tergesa-gesa pula membuktikan makna kerja keras hari ini sebagai jawaban generik atas intensi persoalan tersebut. Sebagaimana kita tahu, dari sekian banyak karya-karya perupa perempuan di tanah air, masih cukup sulit menemukan klaim kesetaraan gender atau permasalahan perempuan secara spesifik, yang terang benderang sebagai ntensi utama dalam karya. Kecenderungan umum dari karya-karya para perupa perempuan masih nampak mempersoalkan permasalahan sosial dan kemanusiaan, bahkan sebagian besar bertumpu pada persoalan artikulasi (pengalaman) pribadi terkait praktik estetik yang dijalaninya. 

Masih kurangnya perupa perempuan mengeksplorasi kemungkinan medium ke arah identifikasi ekspresi, memperlihatkan bahwa medium seni rupa tidak digunakan sebagai alat untuk tujuan tertentu melampaui pergulatan estetik. Dalam perspektif kebebasan berkarya, soal ini tentu saja tak mesti ditarik menjadi sempit. Persoalan yang nampak bagai narasi besar di mata para perupa perempuan ini tentu tak perlu dipahami selaku keniscayaan order tematik, melainkan tawaran intensi estetik yang berbeda. Tendensi untuk lebih menukik pada persoalan kesetaraan gender, dalam analogi yang positip tiada lain merupakan kegaduhan dalam bentuknya yang lain. Suatu tantangan kreatif yang mesti disikapi secara lebih terbuka. Dalam konteks semacam ini upaya melakukan penjarakan dengan persoalan menjadi penting. Mengingat itu, betapa berharganya memaknai keheningan sebagai kekuatan. Bukankah pada titik yang paling krusial, seni apapun bentuknya selalu mengartikulasikan kejujuran para pelakunya?

Keragaman ungkapan estetik
Bagi para perupa dalam Komunitas 22 Ibu, bulan Desember bagaikan medan magnit yang mempersatukan ikatan emosional di antara mereka. Desember tak pernah lepas dari upaya pemaknaan. 

Sebanyak 46 karya dengan pendekatan teknik serta media yang beragam kini terpajang di ‘Equilibrium Arts Gallery’. Sepintas pandang, subyect matter yang dielaborasi para perupa perempuan ini nampak bergerak di antara gambaran fenomena sosial dan lingkungan terkait dunia benda-benda, khewan, tumbuhan, dan manusia. Sementara eksplorasi media dan tekniknya beranjak dari potensi yang paling sederhana, semisal pensil, drawing pen, cat air, akrilik, hingga digital print serta mixed media. Terkecuali karya Endah Purnamasari yang mendekati karakter penataan seni instalasi, sebagian besar karya memperlihatkan kecenderungan yang berorientasi pada kekuatan ungkapan dua dimensional. Ungkapan yang bertolak dari kekuatan ingatan dan narasi kearifan lokal yang hidup di wilayah tertentu, tersirat melalui ‘Silence in Nias’ karya Ariesa Pandanwangi. Riset kecil yang dilakukannya mengantar pada ketakjuban atas narasi yang berakar pada mitologi masyarakat Nias. Yang menarik untuk diamati justru penyerapan unsur (teknik) batik yang dipilihnya. 

Penyerapan teknik itu nampak menimbulkan dialektika pemikiran paradoks dalam relasinya terhadap tradisi. Perupa yang juga memanfaatkan potensi malam dingin (ghuta tamarin) serta pewarna textile untuk merealisasikan gambaran sosok manusia, abstraksi bunga dan imaji-imaji plastis, antara lain:  Meyhawati Yuyu, Rina Mariana, Lisa Setiawati, Wien Sumarsono, Yustine, Shitra Noor Handewi dan Nina Irnawati. Penyerapan teknik batik dan eksplorasi material secara lebih lanjut terkait gagasan mengenai efek ruang (transfaran), nampak dalam perwujudan karya Niken Apriani.

Di sisi yang lain, Belinda Sukapura, Ayoeningsih Dyah W, Eneng Nani Suryati dan Etty Sukaetini nampak mengajukan keyakinan berbeda dalam upaya membangkitkan kembali gambaran dalam ingatan, Bagi para perupa ini garis sebagai pembentuk utama penggambaran,  merupakan anasir penting dalam menyusun narasi persoalan yang hendak disampaikan.Di balik narasi yang ditawarkannya, para perupa ini seolah hendak menegaskan pula bahwa medium yang  sederhana, semisal pensil, drawing pen, maupun charcoal, adalah medium yang efektif dalam mengartikulasikan berbagai narasi pengalaman hidup. Sejalan dengan keyakinan bahwa medium mampu menyampaikan pesan simbolik, Siti Sartika, Michele Wong, Entit Usdiati, Ratih Mahardika, Erni Supriyani, Nina Fajariyah, dan Nida Nabilah, nampak mendorong dan memposisikan potensi medium itu sebagai jalan untuk menemukan kosa kata visual melalui pergumulan perasaannya. 

Narasi lain yang bersumber dari persoalan-persoalan yang tumbuh di sekitar diri sebagai ekspresi pengalaman pribadi, pencarian metaphor sebagai personifikasi diri  nampak antara lain melalui  tawaran ungkapan Mia Syarief, Nita Dewi, Dini Birdieni, Arti Sugiarti, Nenni Nurbayani, Sri Sulastri, Gilang Cempaka, Risca Nogalesa, Ika Kurnia Mulyati, Nurul Primayanti, Wida Widya Kusumah, Bayyinah Nurrul Haq, Dina Lestari, Vidya Kharishma, dan Tjutju Widjaja, Dalam karya-karya para perupa tersebut, terlihat bahwa pencarian ekspresi, penyusunan narasi yang hidup, membayangi dan mendasari karya dapat bersumber dari pengamatan, impresi, imajinasi dan upaya pencarian metaphor, baik terhadap dunia benda-benda maupun penekanan atas relasi pemaknaan melalui sistem penandaan visualnya.

Bagaimana modernitas dipersoalkan dan bagaimana penyerapan atas media baru yang disokong teknologi digital di masa kini disikapi dan dimanfaatkan sebagai alat ungkap dalam penyampaian ekspresi, pengabadian momen yang fana, nampak dalam karya Arleti Mochtar Apin, Nuning Damayanti, Winda Listiani, Siti Wardiyah, Miranti Hirrjsmann, Dyah Limaningsih dan Endang Caturwati. Dalam karya para perupa tersebut, penyikapan atas medium baru memiliki peranan  vital yang membuka pula orientasi bagi eksplorai dan pencarian bahasa baru dalam wacana kontemporer. Kewaspadaan dan perlunya penyikapan yang kritis atas medium itu menjadi jalan penting menuju artikulasi yang cerdas, efektif dan juga menggugah siapapun yang meresepsinya.

Komunitas 22 Ibu dengan keragaman ungkapan yang ditawarkannya di Equilibrium Art Gallery, nyata membuktikan bahwa para perupa perempuan itu tidak membiarkan Desember berlalu tanpa kesan mendalam. Pameran seni rupa ini semoga bukan berhenti sekadar manifestasi bagi ikatan emosional yang tumbuh di sanubari masing-masing perupa belaka, melainkan menjadi langkah sadar untuk menjangkau wilayah apresiasi yang lebih luas. (Diyanto)



Tidak ada komentar:

Art illuminations in 18th – 19th centuries manuscripts from Ngayogyakarta Hadiningrat Palace as a creative industry development

Art illuminations in 18th – 19th centuries manuscripts from Ngayogyakarta Hadiningrat Palace as a creative industry development Abstract M...