Kamis, 18 Desember 2014

SAHABATKU 22 IBU (tulisan seorang sahabat dalam Pameran "metamorfosART 22 IBU")

SAHABATKU 22 IBU 
(tulisan seorang sahabat dalam Pameran "metamorfosART 22 IBU")



Jumpa mereka, adalah seperti memutar kembali jarum jam ke masa berpuluh tahun kebelakang. Celoteh riuh diseling sruputan kopi pekat di warung mang Adang (POSKO), kekesalan pada mata kuliah geometri yang tak cukup sekali diikuti karena mendadak tangan kami tiba tiba sering bergetar seperti penderita parkinson dan menyebabkan hasil geometri blobooorr....atau kepanikan dan harap cemas ketika pak Popo Iskandar melakukan penyeleksian sebuah karya untuk sebuah pameran bersama di kampus. Kita memiliki memori yang kurang lebih sama, dan para seniwati ini memiliki memori yang kurang lebih sama karena mereka sama sama berkuliah di institusi yang sama (SR IKIP/UPI Bandung) sekalipun memiliki rentang waktu yang berbeda.

Tentu saja Ke 22 seniwati yang berpameran ini bukanlah org asing bagi saya, mereka semua adalah kawan saya. Perjumpaan saya dengan mereka juga tak berbatas pada kegiatan berpameran saja, karena kadang kita tiba tiba terjumpakan di acara temu alumni yang penuh haha hihi... Sampai suatu saat di tahun 2013 saya diminta untuk memberikan pengantar pada pameran yang mereka lakukan di Galeri Kita (Pameran Dunia 22 Ibu), dan saya mulai mengenal karya karya mereka. Berikutnya saya diminta untuk memberikan workshop, untuk keperluan sebuah seleksi pameran di Galeri Nasional (Pameran Guru seni berlari). Mengikuti 2 kali persiapan pameran berikut aktivitas berkesenian yang mereka lakukan, berarti ikut dalam keriuhan dan kehebohan, terutama keriangan mereka berfoto selfie. Hingga saat ini saya masih belum paham juga dan kadang masih menggelengkan kepala dan tersenyum melihat apa yg mereka lakukan (tiada pertemuan tanpa foto selfie bahkan dalam sebuah rapat yang cukup serius). Juga kesukaan mereka berkumpul makan bersama (botram)menjadi ciri khas kelompok ini, barangkali ini adalah cara2 mereka mempererat dan membuat solid kelompok ini, karena memang tidak mudah mempertahankan sekian kepala dengan pikiran yang berbeda yg harus disatukan dalam sebuah kelompok.
******** 


Kembali kepada Metamorfosa sebagai tajuk pameran ini...
Melekatkan judul pada sebuah pameran tentu saja memiliki makna tertentu yang menyoal pada kontent, atau jika itu dilakukan pada sebuah pameran bersama atau kelompok ini menjadi sebuah pengikat atau benang merah. Komunitas ini memberi tajuk Pameran kali ini MetamorfostArt, sebuah judul yang menyoal pada perubahan, atau bahkan kebaruan, dengan embel embel art dibelakangnya seolah mereka sedang melakukan perubahan atau menyodorkan sebuah kebaruan dalam seni. Dalam kasus ini sebaiknya tidak bisa disikapi seperti itu, karena nyatanya pameran ini tidak dimaksudkan demikian. Lantas apa yang hendak disoal oleh mereka dengan judul diatas?

Barangkali pembaruan kesenian yg mereka lakukan lebih ke ranah personal. Ada 2 hal yang bisa ditelaah di ranah personal yang mereka lakukan yaitu kebaruan sikap dan kebaruan visual. Pada karya Risca dan Esa, saya melihat kebaruan visualisasi dalam tampilan karya yang sebelumnya, karya Risca sebelumnya dengan tema akar ranting pada pohon di garap dengan tehnik drawing dengan tampilan 2 dimensional, kali ini mengalami perubahan dengan menggabungkan ranting pohon asli sehingga tampak memiliki perubahan dimensi, dan Risca yang biasanya alergi menggambarkan daun, kali ini menampilkan gambar daun sebagai jejak catatan atas suara suara yang singgah di relung bawah sadar. Pada karya Esa saya melihat kebaruan dalam menyajikan karya lukisannya. Lukisan gaya Cina memang tidak ditinggalkan Esa hanya cara penyajian (displaying) karya diubah, dari displaying umum karya 2D bermaterial kain yang biasanya diberlakukan menjuntai kali ini Esa menampilkan karyanya secara instalatif. Karya lukisnya dikemas menjadi karya 3D dan dipersonifikasikannya seperti laiknya bunga Matahari, sebagai konsep dasar kekaryaannya. Kebaruan ini tentu tampak pula dalam material pendukung yang digunakannya

Sementara pada karya Ika perubahan tampak dari warna yang digunakan, dari warna hitam putih atau warna monokromatik Ika kali ini menampilkan karya yang penuh warna. Sementara perubahan gaya ungkap atau genre dilakukan oleh Neny dan Meyhawati, gaya lukisan awal mereka yang ekspresionis pada pameran ini ditinggalkan dan mereka menampilkan lukisan dengan genre abstrak. Begitu pula Sri Sulastri yang sebelumnya menampilkan karya lukis kali ini justru menampilkan karya foto diri. Atau Sri Nuraeni yang sebelumnya berkarya menggunakan tehnik batik kali ini menampilkan drawing dengan goresan charchoal. Dan Niken yang setia dengan tehnik batik memanglah saya lihat selalu konsisten melakukan pembaruan pembaruan di segi tehnik membatik yang tidak konvensional (walaupun sudah sering dilakukan sebelumnya).

Beberapa dari mereka memang melakukan perubahan, apakah perubahan itu menjadi jauh lebih baik, atau tidak. Ini adalah proses yang sedang mereka jalani, dan semoga berujung pada pencapaian masing masing individu sesuai dengan harapan yang mereka bangun. Dan yang menjadi penting adalah keberanian mereka bersikap untuk tidak menjadi ajeg atau stagnan.

Secara Umum para seniwati yang berpameran ini memiliki profesi keseharian sebagai guru/pendidik senirupa. Mereka terbiasa bergerak ulang alik, sekolah rumah, rumah sekolah.....selesai. Lalu? Barangkali ini ahirnya mengganggu mereka, hingga memunculkan sebuah kesadaran untuk melakukan aktivitas kesenian di luar profesi kesehariannya. Mereka begitu bersemangat melakukan aktivitas kesenian dan pameran dalam 2 tahun terahir ini, mereka sudah berpameran sebanyak 5 - 8 kali pameran, belum lagi di hari minggu mereka seringkali melakukan kegiatan melukis atau workshop kesenian dengan berbagai komunitas diluar kelompok mereka. Saya rasa secara personal mereka “ya” memang sedang melakukan perubahan dan pembaruan sikap kesadaran dalam berkesenian. Bahwa bukanlah sesuatu yang mustahil seorang pendidik atau guru dapat juga berperan sebagai seniman, bahkan ini adalah hal yang patut diacungi jempol. Terlepas dari pencapaian hasilnya, yang paling penting adalah semangatnya. Walaupun harapan saya mereka bisa juga menjaga sikap profesionalisme kesenimanan sebagaimana profesi mereka sebagai pendidik senirupa.
*******

Mereka adalah kawan kawan saya dalam satu naungan kampus yang sama, yang berkelompok dalam "22 ibu" yang senang berfoto selfie dan menebarkannya lewat Facebook, yang kadang bertemu sama sama menyeruput kopi dan mengunyah bala bala, sekalipun kali ini tak bisa kami lakukan kembali di warung mang Adang (Posko). Kawan kawan remaja yang tak lagi remaja, yang mencoba mengisi sisa hidup yang bermanfaat. Kawan kawan yang memiliki semangat berkesenian disela kesibukannya sebagai pengajar dan sebagai ibu.
Selamat berpameran kawan, Salam Cinta dan Doa...

Selamat berpameran kawan, 
Salam Cinta dan Doa...
Anunsiata Srisabda
Penulis tinggal di Bandung dan penerima anugerah seni dari pemerintah Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Art illuminations in 18th – 19th centuries manuscripts from Ngayogyakarta Hadiningrat Palace as a creative industry development

Art illuminations in 18th – 19th centuries manuscripts from Ngayogyakarta Hadiningrat Palace as a creative industry development Abstract M...