THE
POWER of SILENCE:
Pencarian
identitas ekspresi dalam kekuatan hening
by
Diyanto
Setiap
hari, semenjak mata terbuka, berbagai fenomena sosial-politik selalu menyergap
dan memberi kejutan-kejutan terbaru lewat isu tumpang-tindih di media sosial
dan sosial media. Nyaris seluruh energi kita terkuras untuk terpancing saling
berbalas opini di ruang publik. Luapan informasi tak terbendung dan membanjiri
jagat publik, menyebabkan kegaduhan luar biasa hingga tak gampang lagi dicerna
oleh nalar. Membiarkan diri untuk terus terlarut dalam kegaduhan semacam itu sebenarnya
merupakan alarm kuat yang menyatakan bahwa
kita tengah terjebak dalam pusaran kebuntuan logika akut. Belum selesai mengupas
suatu isu, muncul lagi isu terbaru yang lebih menarik dan sensual. Dalam dunia
yang kian berisik ini, diam adalah pilihan berharga. Tapi kenapa? Nilai apa sesungguhnya
yang diperoleh dari keheningan untuk orang-orang yang berada di tengah-tengah
dunia yang bergerak cepat ini?
Konon, keheningan
diyakini mampu membantu seseorang untuk mengingat, untuk kembali ke dalam dirinya
sendiri, memasuki kedalaman hati spiritualnya, menghubungkan, memelihara, serta
memperkaya aspek transendental kehidupan. Sebab itu, keheningan
selain menyediakan ruang bagi jiwa untuk membedakan dan mendengar suara
kebenaran dari masa lalu, dapat pula digunakan sebagai senjata dalam mengusir
kegalauan situasi karena energinya yang kuat,
Kegaduhan
yang ditimbulkan oleh denyut perubahan situasi yang berlangsung cepat, secara
umum dihadapi pula oleh setiap orang di berbagai belahan dunia manapun, dan tidak
mustahil dihayati pula oleh sebagian besar para perupa perempuan yang tergabung di dalam Komunitas 22 Ibu. Para perempuan perupa
ini dalam menjalani serta mengalami seluruh konsekuensi logis atas pilihannya selaku seniman tentu tak terhindar
dari kegaduhan eksistensialnya di tengah dominasi persepsi profesi yang
berkembang dalam masyarakat. Tidak mudah, memang untuk senantiasa konsisten
terhadap pilihan yang ditempuh, mengingat persepsi yang berkembang di
masyarakat kita sejauh ini masih terus dibayangi pemikiran lama yang memandang
sebelah mata segala pencapaian berharga para perempuan. Dalam ingatan kita, tentu
masih terdengar jelas tentang seloroh konyol yang mendiskreditkan posisi para
permpuan dalam konteks seni : Benarkah
eksistensi perempuan sebagai subjek seni
kalah besar dibandingkan perempuan sebagai objek seni?.
Perempuan: Kodrat dan Konstruksi Sosial-Budaya
Perbedaan antara
perempuan dan laki-laki sesungguhnya tidak hanya terbatas pada kriteria biologis,
melainkan juga berkaitan dengan kriteria sosial dan budaya yang ditandai
berdasarkan dua konsep, yakni jenis kelamin dan gender. Perbedaaan jenis
kelamin mengacu terutama pada soal perbedaan fisik, khususnya fungsi
reproduksi, sedangkan gender merupakan interpretasi sosial dan kultural
terhadap perbedaan jenis kelamin. Dalam konteks semacam itulah, gender memisahkan
atribut dan pekerjaan dalam dua kategori : maskulin dan feminine. Kategori yang
pertama (maskulin), biasa ditempati oleh
laki-laki sementara kategori feminin diperuntukan bagi perempuan.
Namun, pengertian
jenis kelamin (seks) yang menjadi kodrat manusia kerap disalahpahami dan
disamakan begitu saja dengan konsep gender, sehingga terjadi kerancuan dan
pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut dengan gender dan seks. Gender
yang sejatinya merupakan konstruksi sosial maupun budaya dianggap sebagai kodrat
yang berarti ketentuan biologis atau keniscayaan yang diciptakan Tuhan. Sebab
itu, tidak mengherankan jika dalam ritme kehidupan sehari-hari di masyarakat, peran
perempuan yang dikonstruksi berdasarkan gender itu identik dengan pekerjaan
domestik (membersihkan rumah, memasak, mencuci, mendidik anak, dan melayani suami) dianggap
“sudah menjadi kodrat perempuan”. Seandainya perempuan tidak melakukan
pekerjaan domestik tersebut, tak pelak dituduh “menyalahi kodrat perempuan” dan “tercela” di
mata sebagian masyarakat.
Kerancuan dan
pemutarbalikan makna antara konsep jenis kelamin (seks) yang kodrati dengan
konsep gender yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, mengakibatkan
terjadinya banyak ketidakadilan dalam
masyarakat berupa peminggiran, subordinasi serta diskriminasi terhadap kaum
perempuan. Padahal dalam pemikiran yang progresif di masa kini, konsep gender
sebagai suatu sifat atau ciri yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural tersebut, nyatanya dapat dipertukarkan
serta dapat berubah dari waktu ke waktu, berbeda dari suatu kelas ke kelas yang
lain, juga dari suatu tempat ke tempat yang lain. Jelas kiranya bahwa tidak tersedia
cukup alasan untuk terus menerus mempertahankan konsepsi hierarkis yang menghalangi
pandangan dalam memaknai kesetaraan perempuan.
Komunitas 22 Ibu diantara klaim kesetaraan
dan kegelisahan estetik
Komunitas yang
diusung oleh para perempuan lintas profesi dan bermukim tidak dalam satu
wilayah ini tergolong memiliki ritme serta gairah berkarya yang cukup tinggi. Grafik aktivitas
pameran yang dilakukannya memperlihatkan intensitas serta frekuensi yang membanggakan
di tengah kenyataan betapa masih kurangnya perempuan yang menempuh jalan seni
sebagai pilihan hidup. Para perupa yang sebagian besar memiliki profesi sebagai
pendidik seni rupa ini nampak cukup memiiki siasat yang jitu dalam mengolah
kesadaran dan tanggung jawab pribadinya, baik terhadap keluarga maupun
institusinya. Secara khusus, yang
menarik dari dinamika kreatif para perupa ini bermuara pada perkara pentingnya menjaga
keterbukaan komunikasi dan membangun relasi yang hangat dan terbuka dalam
koridor gagasan, pengetahuan dan regenerasi.
Fakta aktual memperlihatkan bagaimana
komunitas ini telah tumbuh sedemikian rupa: bermula dari ikatan emosional yang
terbatas dalam suatu almamater (diinisiasi oleh Ariesa Pandanwangi serta
beberapa rekan), lantas berkembang menjadi komunitas yang berusaha mencairkan
batas dan menyingkirkan sekat primordialnya. Saat ini keanggotaan komunitas 22
Ibu berjumlah 55 orang. Terlepas dari keunikan cara dan bagaimana mekanisme dalam
tubuh organisasi ini beroperasi, sulit disangkal bahwa pertumbuhannya sejauh
ini mencerminkan keseriusan dan pencapaian yang berharga.
Seberapa jauh dan seberapa besar
sesungguhnya konstribusi komunitas 22 Ibu dalam upaya turut mewarnai dinamika perkembangan
seni rupa di tanah air, khususnya di Bandung ? Wacana dan model estetik semacam
apa yang diusung dan ditawarkan oleh komuitas ini? Mungkinkah progresivitas yang dijalankannya berhubungan dengan pencarian
identitas ekspresi para perupa perempuan Indonesia ? Permasalahan tersebut, barangkali terdengar terlalu pagi, namun tidak
menutup kemungkinan kelak bakal menghampiri dan membayangi siapapun perupa perempuan
yang bernaung di dalamnya. Tentu tidak perlu tergesa-gesa pula membuktikan
makna kerja keras hari ini sebagai jawaban generik atas intensi persoalan
tersebut. Sebagaimana kita tahu, dari sekian banyak karya-karya perupa
perempuan di tanah air, masih cukup sulit menemukan klaim kesetaraan gender atau
permasalahan perempuan secara spesifik, yang terang benderang sebagai ntensi
utama dalam karya. Kecenderungan umum dari karya-karya para perupa perempuan
masih nampak mempersoalkan permasalahan sosial dan kemanusiaan, bahkan sebagian
besar bertumpu pada persoalan artikulasi (pengalaman) pribadi terkait praktik
estetik yang dijalaninya.
Masih kurangnya perupa perempuan
mengeksplorasi kemungkinan medium ke arah identifikasi ekspresi, memperlihatkan
bahwa medium seni rupa tidak digunakan sebagai alat untuk tujuan tertentu
melampaui pergulatan estetik. Dalam perspektif kebebasan berkarya, soal ini
tentu saja tak mesti ditarik menjadi sempit. Persoalan yang nampak bagai narasi
besar di mata para perupa perempuan ini tentu tak perlu dipahami selaku keniscayaan
order tematik, melainkan tawaran intensi estetik yang berbeda. Tendensi untuk
lebih menukik pada persoalan kesetaraan gender, dalam analogi yang positip
tiada lain merupakan kegaduhan dalam bentuknya yang lain. Suatu tantangan
kreatif yang mesti disikapi secara lebih terbuka. Dalam konteks semacam ini
upaya melakukan penjarakan dengan persoalan menjadi penting. Mengingat itu,
betapa berharganya memaknai keheningan sebagai kekuatan. Bukankah pada titik yang
paling krusial, seni apapun bentuknya selalu mengartikulasikan kejujuran para
pelakunya?
Keragaman ungkapan estetik
Bagi para perupa dalam Komunitas 22
Ibu, bulan Desember bagaikan medan magnit yang mempersatukan ikatan emosional
di antara mereka. Desember tak pernah lepas dari upaya pemaknaan.
Sebanyak 46
karya dengan pendekatan teknik serta media yang beragam kini terpajang di ‘Equilibrium
Arts Gallery’. Sepintas pandang, subyect
matter yang dielaborasi para perupa perempuan ini nampak bergerak di antara
gambaran fenomena sosial dan lingkungan terkait dunia benda-benda, khewan,
tumbuhan, dan manusia. Sementara eksplorasi media dan tekniknya beranjak dari potensi
yang paling sederhana, semisal pensil, drawing pen, cat air, akrilik, hingga digital
print serta mixed media. Terkecuali karya Endah Purnamasari yang mendekati karakter penataan seni instalasi,
sebagian besar karya memperlihatkan kecenderungan yang berorientasi pada
kekuatan ungkapan dua dimensional. Ungkapan yang bertolak dari kekuatan ingatan
dan narasi kearifan lokal yang hidup di wilayah tertentu, tersirat melalui
‘Silence in Nias’ karya Ariesa
Pandanwangi. Riset kecil yang dilakukannya mengantar pada ketakjuban atas
narasi yang berakar pada mitologi masyarakat Nias. Yang menarik untuk diamati justru
penyerapan unsur (teknik) batik yang dipilihnya.
Penyerapan teknik itu nampak
menimbulkan dialektika pemikiran paradoks dalam relasinya terhadap tradisi. Perupa
yang juga memanfaatkan potensi malam dingin (ghuta tamarin) serta pewarna
textile untuk merealisasikan gambaran sosok manusia, abstraksi bunga dan imaji-imaji
plastis, antara lain: Meyhawati Yuyu, Rina Mariana, Lisa
Setiawati, Wien Sumarsono, Yustine, Shitra Noor Handewi dan Nina Irnawati. Penyerapan teknik batik
dan eksplorasi material secara lebih lanjut terkait gagasan mengenai efek ruang
(transfaran), nampak dalam perwujudan karya Niken Apriani.
Di sisi yang lain, Belinda Sukapura, Ayoeningsih Dyah W, Eneng Nani Suryati dan Etty Sukaetini nampak mengajukan
keyakinan berbeda dalam upaya membangkitkan kembali gambaran dalam ingatan,
Bagi para perupa ini garis sebagai pembentuk utama penggambaran, merupakan anasir penting dalam menyusun
narasi persoalan yang hendak disampaikan.Di balik narasi yang ditawarkannya,
para perupa ini seolah hendak menegaskan pula bahwa medium yang sederhana, semisal pensil, drawing pen, maupun charcoal, adalah medium yang efektif dalam mengartikulasikan
berbagai narasi pengalaman hidup. Sejalan dengan keyakinan bahwa medium mampu menyampaikan
pesan simbolik, Siti Sartika, Michele
Wong, Entit Usdiati, Ratih Mahardika, Erni Supriyani, Nina Fajariyah, dan Nida Nabilah, nampak mendorong dan
memposisikan potensi medium itu sebagai jalan untuk menemukan kosa kata visual
melalui pergumulan perasaannya.
Narasi lain yang bersumber dari
persoalan-persoalan yang tumbuh di sekitar diri sebagai ekspresi pengalaman
pribadi, pencarian metaphor sebagai personifikasi diri nampak antara lain melalui tawaran ungkapan Mia Syarief, Nita Dewi, Dini Birdieni, Arti Sugiarti, Nenni Nurbayani,
Sri Sulastri, Gilang Cempaka, Risca Nogalesa, Ika Kurnia Mulyati, Nurul
Primayanti, Wida Widya Kusumah, Bayyinah Nurrul Haq, Dina Lestari, Vidya
Kharishma, dan Tjutju Widjaja, Dalam karya-karya para perupa tersebut,
terlihat bahwa pencarian ekspresi, penyusunan narasi yang hidup, membayangi dan
mendasari karya dapat bersumber dari pengamatan, impresi, imajinasi dan upaya
pencarian metaphor, baik terhadap dunia benda-benda maupun penekanan atas
relasi pemaknaan melalui sistem penandaan visualnya.
Bagaimana modernitas dipersoalkan dan
bagaimana penyerapan atas media baru yang disokong teknologi digital di masa
kini disikapi dan dimanfaatkan sebagai alat ungkap dalam penyampaian ekspresi, pengabadian
momen yang fana, nampak dalam karya Arleti
Mochtar Apin, Nuning Damayanti, Winda Listiani, Siti Wardiyah, Miranti
Hirrjsmann, Dyah Limaningsih dan Endang
Caturwati. Dalam karya para perupa tersebut, penyikapan atas medium baru
memiliki peranan vital yang membuka pula
orientasi bagi eksplorai dan pencarian bahasa baru dalam wacana kontemporer.
Kewaspadaan dan perlunya penyikapan yang kritis atas medium itu menjadi jalan
penting menuju artikulasi yang cerdas, efektif dan juga menggugah siapapun yang
meresepsinya.
Komunitas 22 Ibu dengan keragaman
ungkapan yang ditawarkannya di Equilibrium Art Gallery, nyata membuktikan bahwa
para perupa perempuan itu tidak membiarkan Desember berlalu tanpa kesan
mendalam. Pameran seni rupa ini semoga bukan berhenti sekadar manifestasi bagi
ikatan emosional yang tumbuh di sanubari masing-masing perupa belaka, melainkan
menjadi langkah sadar untuk menjangkau wilayah apresiasi yang lebih luas.
(Diyanto)